Syarat Dua Kali Menjabat Kepala Daerah Dianggap Inkonstitusional
Kamis, 17 Juni 2010
| 17:43 WIB
(Ki-Ka) Kuasa Hukum Pemohon Bambang Widjoyanto dan Iskandar Sonhadji saat membacakan permohonan mengenai UU Pemda di ruang sidang Panel MK, Senin (14/06).
Jakarta, MK Online - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang permohonan pengujian UU 12/2008 tentang Perubahan Kedua atas UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, Senin (14/06) Perkara Nomor 33/PUU-VIII/2010 ini dimohonkan oleh H.B. Paliudju, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, dan J. Santo. Mereka didampingi Bambang Widjoyanto, Iskandar Sonhadji, dan Diana Fauziah sebagai kuasa hukumnya.
Dalam sidang perbaikan permohonan ini, Pemohon masih tetap tidak berbeda dalam mendalilkan permohonannya. Pasal yang dimohonkan adalah Pasal 58 huruf o yang menyatakan bahwa calon kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah warga negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, belum pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah selama dua kali masa jabatan.
Pasal konstitusi yang menjadi dasar adalah Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. “Kata kuncinya adalah kata “demokratis”,” jelas Bambang. Ia menambahkan, kata kunci ini menjelaskan adanya konvergensi antara daulat rakyat dan daulat hukum.
Sementara itu di dalam pelaksanaan proses Pemilukada, KPU Sulteng telah mengeluarkan surat tentang syarat calon kepala daerah yang menyebutkan adanya ketentuan bahwa calon pasangan tidak boleh menjabat selama dua kali.
“Pemohon I diangkat menjadi Gubernur Sulawesi Tengah periode pertama 196-2001. Ia saat ini menjabat sebagai gubernur, diangkat pada 2006 sampai 2010. Pengangkatan didasarkan pada UU 5/1974. Jika UU ini diperiksa, tidak ada rumusan kata “demokratis” dan proses pemilihannya tidak secara demokratis karena gubernur diangkat, bukan dipilih,” tutur Bambang.
Dengan adanya ketentuan tidak boleh menjabat selama dua kali, maka Pemohon berpotensi untuk dilanggar hak konstitusionalnya dalam mencalonkan diri karena dapat didiskualifikasi. Dalam petitumnya, Pemohon menginginkan agar Pasal 58 huruf o UU Pemda dinyatakan oleh MK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. (RN Bayu Aji)