Pentingnya Keterangan Saksi Sebagai Alat Bukti
Kamis, 17 Juni 2010
| 17:34 WIB
Hakim Konstitusi Muhammad Alim memberikan kuliah singkat kepada para mahasiswa IAIN Walisongo Semarang yang berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (15/6).
Jakarta, MK Online - Hakim Konstitusi Muhammad Alim menekankan pentingnya keterangan saksi sebagai salah satu jenis alat bukti. Menurut Alim, keterangan saksi adalah keterangan yang diberikan dalam sidang. Saksi harus disumpah atau berjanji menurut cara agamanya. Saksi yang di bawah umur, tidak disumpah.
“Keterangan saksi adalah keterangan yang dilihat sendiri, didengar sendiri dan dialami sendiri. Keterangan saksi yang hanya mendengar dari penuturan orang lain tentang sesuatu yang tak didengar langsung, atau tidak dilihat langsung atau tidak dialami langsung, tidak dapat dinilai sebagai suatu kesaksian,” ujar Alim kepada para mahasiswa IAIN Walisongo Semarang yang berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (15/6) pagi.
Alim melanjutkan, saksi yang hanya mendengar dari penuturan orang disebut saksi de auditu. Selain itu, keterangan seorang saksi saja, tanpa didukung alat bukti lain, tidak dinilai sebagai keterangan saksi. Dalam bahasa Latin dikenal dengan adagium, unus testis nullus testis, sedangkan dalam bahasa Belanda dikenal dengan een geutigen not geutigen, artinya satu saksi bukanlah saksi.
Dalam kesempatan itu Alim juga memaparkan isi Pasal 24 UUD 1945, yang antara lain menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah MK,” lanjut Alim mengenai bunyi Pasal 24 UUD 1945.
Sebelum menutup pertemuan itu, Alim menerangkan wewenang dan kewajiban MK. Diantaranya adalah menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum.
“Sedangkan kewajiban MK adalah memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden yang diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan tentang negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela,” tandas Alim. (Nano Tresna A.)