Idealnya ada satu Dewan Sertifikasi Advokat Nasional dan Komisi Pengawas Advokat Nasional.
Setelah kedatangan Forum Komunikasi Advokat Indonesia (FKPAI) menyambangi Mahkamah Konstitusi (MK), kali ini giliran Persatuan Advokat Indonesia (Peradin). Organisasi Advokat yang diketuai oleh Frans Hendra Winata itu beraudiensi dengan Ketua MK Mahfud MD dan hakim konstitusi untuk membicarakan nasib organisasi advokat.
Frans memang mengaku khawatir dengan organisasi advokat yang terpecah belah saat ini. Padahal, UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat menghendaki adanya wadah tunggal bagi advokat. Faktanya, saat ini, ada tiga organisasi –Peradi, KAI, dan Peradin- yang mengklaim dirinya masing-masing sebagai wadah tunggal.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD pada kesempatan itu mengatakan, ada kesepakatan untuk mengembalikan jati diri advokat untuk kembali menjadi pejuang. Ia mengatakan sejarah dunia advokat memang kerap terlibat dalam pembangunan hukum di Indonesia.
Terkait konflik antar organisasi advokat, Mahfud mengatakan usulan dalam diskusi tersebut mirip dengan yang disampaikan oleh MK pada diskusi dengan FKPAI yang lalu, yakni dibentuknya federasi advokat. “Ada gagasan yang hampir sama dengan FPAI kemarin, yakni gagasan federasi,” tuturnya.
Sebelumnya, dalam diskusi dengan FKPAI, Hakim Konstitusi Akil Mochtar mengusulkan agar advokat mengggunakan sistem federasi, yang mengakomodir banyak organisasi. Menurutnya, sistem organisasi tunggal tak lagi relevan. “Sifat advokat yang plural membuat sulit,” ujarnya. Karenanya, ia mengusulkan agar advokat fokus pada isu revisi UU Advokat.
Namun kali ini, jelas Mahfud, ada gagasan yang berbeda. “Ada pikiran kita tak perlu mengubah UU untuk menerapkan sistem federasi itu,” ujarnya. Ia mengatakan ada gagasan dibuat dewan sertifikasi advokat nasional dan komisi pengawas advokat nasional yang bekerja sama dengan Mahkamah Agung (MA). Meski begitu, ia mengatakan ini baru sebatas gagasan, bukan sebuah kesepakatan.
Frans Hendra setuju dengan gagasan ini. Ia mengatakan perlu dibuat komisi yang mengawasi advokat dengan melibatkan pengadilan. Sehingga, advokat-advokat nakal yang melanggar kode etik bisa dilarang beracara di Pengadilan. “Jangan seperti sekarang,” ujarnya.
Namun, usulan ini tentu tak bisa diterapkan di MK. Mahfud mengatakan pada prinsipnya MK tak terpengaruh dengan konflik organisasi advokat ini. “Orang yang bersidang di MK tidak harus advokat. Orang biasa pun bisa,” tuturnya. Meski begitu, ia mengaku tetap peduli dengan perpecahan organisasi advokat ini.
Bila beberapa orang pesimis dengan organisasi tunggal advokat, beda halnya dengan Ketua Umum DPN Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Otto Hasibuan. Ia mengatakan, saat ini, sedang dibangun upaya islah atau perdamaian antar organisasi advokat yang berseteru. “Sudah 99 persen, kami (Peradi,-red) dengan KAI. Tinggal tunggu satu atau dua minggu ke depan,” ujarnya kepada hukumonline di Universitas Trisakti, Jakarta, akhir pekan lalu. (Ali)
Selasa, 15 June 2010 | hukumonline.com