Jakarta, MK Online - Agama apapun tidak ada yang membenarkan tindak korupsi dengan segala varian bentuknya. Tetapi yang mengherankan, sebagian orang beragama malah terjerumus ke dalam tindakan yang dilarang agama itu.
“Negara kita dikenal sebagai negara yang religius, tetapi krisis multidimensi semakin meluas, bahkan penetrasinya sudah menyerupai zaman jahiliyyah,” ungkap Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud saat menjadi narasumber Kongres Nasional Tokoh Agama ke-III Tahun 2010 pada Kamis (10/6) pagi di Hotel Mercure, Jakarta Utara.
Mahfud kemudian menyitir pendapat ulama besar Imam Ghazali, agama dan kekuasaan adalah saudara kembar. Agama adalah pondasi, sedangkan negara adalah bangunannya. Sebuah bangunan tidak akan bisa berdiri tegak tanpa adanya pondasi. Oleh sebab itu, agama tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan negara atau pemerintahan politik. Apabila negara dipisahkan dari agama ataupun sebaliknya negara dipisah dari agama, maka keadaan masyarakat niscaya akan hancur.
“Dengan demikian, agama semestinya menjadi dasar dalam kegiatan berpolitik. Karena setiap agama memperjuangkan nilai-nilai dasar yang sama yakni kejujuran, keadilan, demokrasi, hak asasi manusia,” imbuh Mahfud yang didampingi tokoh agama lainnya, Franz Magnis Suseno serta moderator Slamet Effendy Jusuf.
Lebih lanjut Mahfud mengatakan, setiap hari masyarakat kita disodori berbagai pemberitaan tentang pertikaian, anarkisme, vandalisme, kebohongan, kedunguan, kehancuran tata nilai dan ketiadaan keteladanan. Politik digulirkan oleh politisi tanpa prinsip dan ideologi yang jelas. Praktik politik direduksi sekadar atas nama kekuasaan, bukan sebagai proses pencapaian kebajikan bersama. Banyak kandidat berlomba meraih kekuasaan dengan cara berkhianat, baik kepada negara maupun teman.
“Hukum dan institusinya tersandera oleh penegak hukum yang tak berintegritas, sehingga gagal menghadirkan keadilan. Orang menjadi kaya tanpa kerja keras, dengan cara berbohong, menipu dan sebagainya. Banyak yang terjebak perilaku hedonis dengan mengabaikan nurani dan moralitas,” tegas Mahfud.
Hal lain yang menjadi kritik Mahfud, adalah lunturnya etika berbangsa dan bernegara, baik di tingkat elit politik, birokrasi, penegak hukum bahkan meluas ke lapisan-lapisan masyarakat. Selain itu, masyarakat begitu mudah menjadi anarkis saat memperjuangkan hak-haknya.
“Yang sungguh tak menggembirakan, banyak kesepakatan bangsa tidak lagi ditaati sebagai komitmen politik dan komitmen sosial, yang berujung pada kontroversi dan konflik di berbagai bidang,” ucap Mahfud di hadapan para peserta kongres.
Sementara itu narasumber lainnya, Franz Magnis Suseno mengungkapkan bahwa agama seringkali dijadikan unsur sebagai penambah masalah. Hal itu bukan karena hakekat agama, melainkan karena kodrat manusia. Manusia, sebagai warisan evolusi yang diperkuat oleh pengalamannya selama ribuan tahun, selalu curiga tentang apa saja yang “baru” dan yang “lain”. Ia merasa aman dengan apa yang sudah “biasa”.
Dikatakan Franz lagi, situasi hubungan antara umat beragama sekarang jauh lebih baik daripada 10 tahun lalu, tidak ada lagi konflik berdarah, tidak ada keinginan untuk berkonflik, terutama di tingkat pimpinan hubungan antara umat beragama semakin erat dan saling percaya. “Pancasila sebagai konsensus bangsa bahwa dalam negara Indonesia semua warga negara sama hak dan kewajibannya tanpa membedakan menurut mayoritas dan minoritas,” tandas Franz. (Nano Tresna A.)