Jakarta, MK Online - Sekitar 200 mahasiswa Swiss German University Jakarta mengunjungi Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa pagi (02/06). Kunjungan ini merupakan salah satu cara untuk memahami serta mendalami UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia dan sistem ketatanegaraan.
Hakim Konstitusi Harjono menerima kunjungan ini dan kemudian memberikan kuliah singkat mengenai perjalanan historis perubahan UUD dan sistem ketatanegaraan Indonesia kepada para mahasiswa.
“Pada pemerintahan orde baru Soeharto, UUD seakan-akan tidak boleh dirubah karena dianggap sakral. Namun dalam perjalanan bangsa ini, evaluasi dan juga terjadinya krisis politik, ekonomi dan ketatanegaraan pasca reformasi 1998 menunjukkan tanda-tanda adanya sebuah keinginan untuk merubah UUD,” terangnya.
Oleh karena tuntutan demokratisasi, penegakan hukum dan HAM, akhirnya MPR melakukan sidang dan kemudian menelaah apakah ada yang salah dengan UUD. Semua kondisi dan situasi yang terjadi mulai dari era Soekarno sampai Soeharto, adakah andil dari UUD dalam pengkondisian situsi yang timpang ini semua.
“Setelah dievaluasi ternyata memang ada sebuah situasi karena amanat UUD yang memberikan kewenangan terhadap Presiden yang besar. Kecenderungan kewenangan besar itu juga berimplikasi terhadap kekuasaan. Sebagai contohnya adalah kewenangan Presiden membuat undang-undang dengan persetujuan DPR, 1/3 anggota MPR adalah ABRI yang di mana Presiden adalah panglima tertinggi sehingga tindakan ABRI di MPR pasti atas komando Presiden. Produk hukum berupa undang-undang pasti menguntungkan Presiden karena dibuat sendiri,” kisahnya.
Selain itu, pemerintah daerah baik Bupati, Walikota dan Gubernur diseleksi oleh Pemerintah Pusat sehingga mengarah kepada penguatan terhadap Presiden. Kemudian MPR sebagai lembaga tertinggi memiliki kewenangan penuh atas kedaulatan rakyat.
Oleh sebab itu, setelah perubahan UUD mulai tahun 1999-2002, Presiden tidak lagi membuat undang-undang karena itu adalah kewenangan DPR, keanggotaan MPR terdiri dari DPR dan DPD, Presiden dan Kepala Daerah dipilih langsung oleh rakyat secara demokratis, MPR bukanlah lembaga tertinggi negara yang dapat menjatuhkan Presiden sesuka hatinya.
Selanjutya, Harjono juga menjelaskan kewenangan MK antara lain adalah menguji undang-undang terhadap UUD, menyelesaikan sengketa antar lembaga negara, membubaran partai politik apabila bertentangan dengan Pancasila dan UUD, menyelesaikan sengketa Pemilu, baik Pemilu Legislatif, Presiden dan Pemilukada, serta memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan wakilnya diduga melakukan pelanggaran hukum (impeachment). (RN Bayu Aji)