Jakarta, MK Online - Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai peradilan ketatanegaraan memiliki arti penting dalam kehidupan bernegara. Pengalaman sejarah bangsa Indonesia mulai kemerdekaan hingga saat ini, terkadang tak selalu sejalan dengan apa yang telah digariskan dalam UUD 1945.
“Tahun 1945 dapat dikatakan sebagai masa konsolidasi, masa revolusi. Namun seiring bergulirnya waktu, kita sedikit mengalah. Dalam situasi terpaksa, kita menerima dari semula negara kesatuan menjadi negara serikat pada 1949. Undang-undangnya pun menjadi UUD RIS,” tutur Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi saat memberi kuliah singkat kepada para mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Janabadra, Jogjakarta, Senin (31/5) pagi di gedung MK.
Ahmad Fadlil Sumadi melanjutkan, tahun 1950 bentuk negara Indonesia kembali ke negara kesatuan, dengan UUDS (Undang-Undang Dasar Sementara) 1950. Dikatakan Ahmad Fadlil, meskipun susunan dan bentuk negara saat itu terus mengalami perubahan, terjadi dinamika, namun ide yang tidak pernah tergeser adalah Indonesia tetap menjadi negara yang berdasarkan demokrasi dan hukum.
“Bahkan ketika itu UUD kita secara normatif makin kokoh, karena pengertian demokrasi dan hukum semakin rinci. Diantaranya, dengan memasukkan ketentuan-ketentuan terkait hubungan warga negara dengan negara, menata hubungan warga negara dengan negara,” imbuh Ahmad Fadlil di hadapan para mahasiswa yang dipimpin oleh Yusuf Slamet Murdomo selaku dosen di Universitas Janabadra.
Setelah berjalan beberapa waktu semenjak diberlakukannya UUDS 1950, maka pada 1955 negara Indonesia membentuk konstituante. Tetapi pada saat itu situasi Indonesia dinyatakan “deadlock’, meskipun dalam pengertian bahwa sebenarnya Indonesia tidak mengalami deadlock. “Karena banyak pakar yang menyebutkan bahwa situasi saat itu tidak deadlock. Penyebutan deadlock dinyatakan secara sepihak oleh kepala negara,” ungkap Ahmad Fadlil.
Hingga akhirnya dikeluarkanlah Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 dan menyatakan negara Indonesia kembali kepada UUD 1945. Namun demikian, lanjut Ahmad Fadlil, dalam praktiknya pelaksanaan UUD 1945 tidak berjalan semestinya. Presiden Soekarno dengan gaya kepemimpinan otoritarianisme, menjadi tokoh sentral dengan alasan sebagai “penutup’. “Alasan Soekarno, revolusi belum selesai. Akibatnya, negara diselenggarakan tidak menurut hukum dan demokrasi,” kata Ahmad Fadlil.
Selain itu, sambung Ahmad Fadlil, kekuasaan kehakiman di Indonesia pada masa itu berada di bawah kekuasaan pemerintahan, sehingga Presiden Indonesia dapat campur tangan dan turut serta dalam urusan kehakiman. Alasan Soekarno ketika itu, lagi-lagi demi kepentingan revolusi yang katanya belum juga selesai.
“Tahun 1959 era itu berakhir dan menjadi era orde lama hingga 1965. Kemudian mulai 1965 menjadi era orde baru dan muncul semangat melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Sampai akhirnya terjadi Reformasi 1998, lalu pada 1999-2002 dilakukan amandemen UUD 1945, hingga dibentuklah MK pada 2003,” tandas Ahmad Fadlil. (Nano Tresna A.)