Jakarta, MK Online - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan atas permohonan perkara Nomor 9/PHPU.D-VIII/2010 tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Kabupaten Bangli, Selasa (25/05). Agenda sidang kali ini adalah mendengarkan jawaban/tanggapan Termohon, Pihak Terkait dan mendengar keterangan Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Kabupaten Bangli, saksi dari para pihak serta Pembuktian. Sidang dilakukan di Ruang Sidang Pleno Gedung MKRI.
Panel Hakim pada persidangan itu adalah Moh. Mahfud MD, selaku Ketua Panel, beserta Ahmad Fadlil Sumadi dan M. Arsyad Sanusi masing-masing sebagai hakim anggota. Pemohon adalah Pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Bangli, yakni pasangan I.B.M Brahmaputra dan I Wayan Winurjaya, dengan tim kuasa hukumnya yang menamakan diri tim Advokasi Brawijaya. Sedangkan, dari pihak Termohon hadir Ketua KPU Kabupaten Bangli Dewa Agung Gede Lidartawan beserta beberapa anggota KPU lainnya, dan Ketua KPU Provinsi Bali Ketut Lanang Sukawati Prabawa. Mereka didampingi kuasa hukum, Agus Samijaya dan Putu Bagus Budi Arsawan.
Dari Pihak Panwaslu Kabupaten Bangli, dihadiri langsung oleh Ketua Panwaslu Kabupaten Bangli, yakni I Nengah Widiana, beserta dua orang anggotanya, Dewa Ketut Bukian dan I Gede Wiratmaja Karang. Dalam keterangannya, I Nengah Widiana, menerangkan bahwa memang benar telah ada pengaduan dari para pihak pasangan calon melalui tim kampanyenya terkait adanya beberapa pelanggaran yang terjadi pada Pemilukada di Kabupaten Bangli. Namun, beberapa pengaduan itu kurang jelas dan lengkap sehingga pihaknya kesulitan dalam melakukan pengkajian atas pengaduan itu. Tapi, meskipun begitu, pihak Panwaslu tetap memprosesnya.
“Ada 151 TPS yang dilaporkan. Tapi, laporan kurang jelas dan kurang tegas. Khususnya terkait saksi-saksi. Panwas kewalahan dengan laporan tersebut. Tapi kami tetap melakukan kajian atas pengaduan. Akhirnya Panwas bekerjasama dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan para Panwas se-Bali,” ujarnya.
Beberapa pengaduan tersebut adalah berkaitan dengan dugaan sejumlah Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang tidak menyerahkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada saksi dari pasangan calon, serta membiarkan pemilih mewakili pemilih lain yang tidak datang, dan adanya pemilih yang memilih lebih dari satu kali.
Berdasarkan beberapa temuan dari hasil pengkajian di lapangan, Pihak Panwas mengeluarkan beberapa rekomendasi. “Rekomendasi kami adalah kepada KPU untuk melaksanakan pemungutan ulang di 9 TPS, (kemudian) pada tindak pidana belum kami ajukan karena belum cukup bukti, (dan) pada Bawaslu untuk mengambil tindakan tegas pada petugas KPU atau KPPS yang menyalahi aturan tersebut,” terangnya.
Selain itu, dalam persidangan, para saksi yang dihadirkan oleh Pemohon lebih banyak menyinggung dan mengungkakpkan tentang adanya pemilih yang memilih lebih dari satu kali, serta adanya praktik pemilihan dengan cara perwakilan. Bahkan, memilih melalui perwakilan itu pada beberapa TPS adalah berdasarkan pada kesepakatan antar warga sendiri, atau malah diumumkan oleh pihak KPPS untuk diperbolehkan. Sebaliknya para saksi dari pihak Termohon mengungkapkan bahwa tidak terjadi pelanggaran selama penyelenggaraan Pemilukada.
Dalam persidangan juga terungkap bahwa surat rekomendasi yang menjadi salah satu dasar permohonan Pemohon dinyatakan telah dicabut oleh pihak Panwaslu. Hal tersebut dikarenakan surat rekomendasi itu dibuat berdasarkan intimidasi dari pihak Pemohon melalui pengerahan massa kekantor Panwaslukada Kabupaten Bangli. “Kami menarik rekomendasi itu karena cacat prosedur dan cacat isi,” tegas Ketua Panwaslu Bangli, I Nengah Widiana.
Selanjutnya, ia pun menambahkan bahwa karena kejadian tersebut dua anggota Panwaslu Kabupaten Bangli harus mendapat pengawalan melekat dari pihak kepolisian dan mengalami tekanan psikologis. Akhirnya, Dewa Ketut Bukian, salah satu dari dua Panwas yang dimaksud itu, angkat bicara berkenaan dengan hal ini. Ia lalu menjelaskan kronologis kejadian pada saat itu hingga keluar surat rekomendasi untuk melakukan pemilihan ulang di 4 (empat) Kecamatan pada 132 (seratus tigapuluh dua) TPS.
“Saya was-was dengan keselamatan kami. Secara psikologis saya tertekan dan merasa terintimidasi. Pada saat itu, pimpinan demonstran dan beberapa demonstran mengatakan jika Panwaslu tidak mengeluarkan rekomendasi, maka mereka akan anarkis dan membubarkan Panwaslu untuk diganti oleh mereka,” tuturnya.
Tepis Melakukan Tekanan
Berkaitan dengan keterangan tersebut, salah satu saksi dari pihak Pemohon membantahnya. “Tidak ada itu kami menekan Panwas. Yang ada malah (salah seorang dari) Panwaslu membisiki saya bahwa mereka mendapat tekanan. Dan, karena ada pernyataan itu, saya mengatakan (kepada Panwaslu), demi menegakkan demokrasi kita harus berani. Sedangkan dengan adanya angka 132 itu kami tidak tahu,” kata pimpinan demonstran pada saat kejadian itu, Ida Bagus Made Santosa.
Setelah memberikan kesempatan kepada para pihak untuk memberikan closing statement, Mahfud, meminta para pihak untuk membuat kesimpulan tertulis yang merangkum semua tangggapan dan bantahan atas segala hal yang muncul di persidangan. “Sampaikan dalam kesimpulan tertulis, ditunggu paling lambat kamis jam 16.00 wib,” ungkapnya seraya menutup sidang.
Ajukan Eksepsi
Kemudian, dalam jawaban/tanggapannya, pihak Termohon dan Pihak Terkait mengajukan eksepsi. Pada intinya menurut mereka, permohonan Pemohon telah error in objectum litis (kesalahan dalam menentukan objek perkara), serta obscuur libel (tidak jelas dalam menjabarkan alasan-alasan permohonannya). “Pemohon tidak merinci jumlah suaranya serta tidak berdasar dan mengada-ada. Karena menurut kami proses sudah berjalan sesuai ketentuan yang berlaku,” ujar salah satu kuasa hukum pihak Terkait. (Dodi H.)