Jakarta, MK Online - Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva mengingatkan pentingnya untuk menegakkan keadilan substantif ketimbang melaksanakan prosedur hukum acara yang lebih bertujuan mewujudkan kepastian dan logika hukum.
“Padahal hukum tak selalu menggunakan logika positif legalistik dalam mencari kepastian hukum. Karena yang tak kalah penting adalah kemanfaatan hukum itu sendiri, dengan menegakkan keadilan substantif,” ungkap Hamdan saat memberi kuliah singkat kepada para anggota Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi) pada Rabu (19/5) siang di gedung Mahkamah Konstitusi (MK).
Hamdan mencontohkan kasus yang dialami mantan Kabareskrim Polri, Susno Duadji, yang memang benar bahwa secara prosedur formal hukum ia bisa saja dinyatakan bersalah. Namun menurut Hamdan, amat disayangkan seorang perwira semacam Susno ditahan, karena yang bersangkutan bertujuan untuk membongkar mafia kasus di lingkungan kepolisian.
“Tetapi secara keadilan substantif belum tentu,” imbuh Hamdan Zoelva yang didampingi moderator Rini M. Dahliani sebagai Penasehat Permahi.
Itulah sebabnya, ujar Hamdan, sepanjang tahun 2009 MK telah membuat sejumlah terobosan hukum antara lain dengan mengeluarkan berbagai putusan yang hasilnya dinilai berbeda dengan perundang-undangan yang berlaku. Contohnya, kasus perselisihan hasil pemilu legislatif yang hasilnya adalah pemungutan suara ulang di Nias Selatan dan Yahukimo, Papua.
Terobosan hukum lain yang mengutamakan keadilan substantif, saat MK memperbolehkan penggunaan KTP, KK ataupun paspor untuk warga negara Indonesia di luar negeri saat pemilu, untuk warga yang tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Paradigma keadilan substantif bisa saja menyimpang dari UU kalau pelaksanaan UU itu menimbulkan ketidakadilan di masyarakat.
Lebih lanjut Hamdan mengungkapkan, sejak Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) dibentuk pada 2003 tercatat lembaga peradilan ini sudah melakukan 278 pengujian UU terhadap UUD. Hasil putusan MK menunjukkan prosentase sebagai berikut: 24% dikabulkan, 28% ditolak dan 24% tidak diterima.
“Kadang putusan MK membuat orang kaget dan suasana jadi ramai. Sampai muncul anggapan miring kenapa 9 hakim konstitusi berani membatalkan UU yang dibentuk 500 lebih anggota DPR dan jajaran pemerintahan. Bahkan ada orang yang keberatan bahwa MK dianggap sebagai lembaga peradilan super power,” paparnya.
Namun demikian, semua anggapan maupun pro kontra terhadap putusan yang dikeluarkan oleh MK, memang biasa terjadi dalam sebuah lembaga peradilan. Bagaimanapun, terobosan-terobosan hukum yang telah dilakukan MK tetap saja dapat dilakukan demi menegakkan keadilan substantif. (Nano Tresna A.)