Jakarta, MK Online - Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diuji di Mahkamah Konstitusi, Selasa (18/05). Sidang Panel yang diselenggarakan di ruang sidang Pleno Gedung MKRI tersebut mengagendakan Pemeriksaan Pendahuluan. Panel Hakim diketuai oleh Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati, beserta Ahmad Fadlil Sumadi dan Hamdan Zoelva masing-masing sebagai Hakim Anggota. Permohonan ini diregistrasi dengan nomor perkara 28/PUU-VIII/2010.
Para pemohon berjumlah 18 (delapan belas) orang, yang kesemuanya berprofesi sebagai advokat. Namun dalam persidangan kali ini, hanya dihadiri oleh beberapa Pemohon saja, diantaranya adalah Petrus Bala Pattyona, Th. Ratna Dewi K, Dea Tunggaesti, Adinda Utami Anindita, Vincencius Tobing serta Muhammad Heru Mahyudin.
Norma yang mereka ujikan adalah Pasal 65 KUHAP beserta penjelasnnya. Bunyi dari pasal tersebut, “Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya.” Serta dalam penjelasan Pasal tersebut menyatakan “Cukup jelas.”
Pemohon mendalilkan bahwa UU Nomor 8 Tahun 1981 tersebut sudah tidak dapat diaktualisasikan lagi. “KUHAP tidak mampu lagi menampung aspirasi masyarakat yang semakin kritis dan sadar akan hak-haknya,” ungkap para Pemohon dalam permohonannya.
Selain itu, Pemohon mengungkapkan dengan adanya pasal tersebut telah atau setidaknya berpotensi merugikan hak-hak konstitusional mereka. Bunyi pasal tersebut menurut mereka telah membuka peluang bagi lembaga-lembaga penegak hukum untuk melakukan penafsiran sesat dan tidak berdasar, khususnya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di mana hal itu telah atau setidak-tidaknya akan merugikan klien mereka dikemudian hari. “Praktek ini terjadi dalam perkara atas nama Syaukani Hassan Rais, Naerthias dan Aulia Pohan,” ujarnya.
Semestinya menurut mereka hal itu tidak boleh dilakukan. “Penafsiran hanya boleh dilakukan dalam hal terdapat kekosongan hukum. Namun, KPK telah melakukan penafsiran yang tidak berdasarkan realitas hukum yang berlaku di Indonesia, ius constitutum. Sementara Pasal 65 KUHAP masih berlaku sehingga seharusnya berlakulah asas cessat in claris (kata-kata dalam UU tidak dapat diinterpretasikan apabila teksnya sudah jelas), dimana penyidik KPK seharusnya tidak dapat atau tidak perlu menginterpretasikan bunyi suatu UU apabila teks UU tersebut sudah jelas dan terang,” lanjutnya.
Oleh karena itu, mereka menyatakan bahwa Pasal 65 KUHAP telah merugikan hak-hak konstitusional mereka yang telah dirumuskan pada Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Setelah pemaparan para Permohon tersebut, Majelis menyarankan beberapa perbaikan. Menurut Majelis, Pemohon masih belum tepat dalam mengargumentasikan permohonannya. “Kerugiannya harus jelas. Uraian dalam permohonan sebagian besar masih merupakan fakta dari implementasi pasal tersebut. Itu adalah aplication of law bukan constitutional case,” tutur Fadlil.
Selain itu, menanggapi permohonan Pemohon yang dalam pokok permohonannya menginginkan Majelis mengubah norma pada Pasal 65 KUHAP dengan rumusan baru, Majelis mengatakan bahwa MK adalah negatif legislator, jadi tidak bisa melakukan hal tersebut. “MK itu pasif, tidak membentuk norma baru,” ungkap Maria mengingatkan.
Setelah memberikan beberapa saran dan nasihat, Panel Hakim pun ditutup oleh Maria Farida. “Permohonan mesti diperbaiki. Kami beri waktu 14 hari. Jika (perbaikan) tidak kami terima, maka (permohonan) ini yang dianggap hasil perbaikan,” ucapnya. (Dodi H.)