Jakarta, MK Online - Demokrasi bukanlah segala-galanya, karena pelaksanaan demokrasi hanya mendasarkan pada ‘menang-menangan’ melalui suara terbanyak atau suara mayoritas. Padahal dalam suatu negara, tetap saja ada keadilan yang tersembunyi.
“Demokrasi tetap memiliki kelemahan atau ‘cacat bawaan’. Oleh sebab itu, pelaksanaan demokrasi harus diimbangi nomokrasi atau kedaulatan hukum. Dengan kata lain, negara demokrasi berdasarkan hukum,” kata Sekjen Mahkamah Konstitusi (MK) Janedjri M. Gaffar selaku narasumber acara “Diklatpim Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan” pada Selasa (18/5) siang di Hotel Sultan, Jakarta.
Dikatakan Janedjri, sejarah institusionalisasi MK bermula dari Kasus Marbury vs Madison (1803) yang terjadi di Amerika Serikat. Ternyata kasus itu pun menghasilkan dua hal penting, yakni membatalkan ketentuan yang berkaitan dengan pengangkatan hakim (Judiciary Act 1789) dan menjadi dasar kewenangan judicial review Supreme Court Amerika Serikat.
“Itulah awal mula lahirnya kewenangan menguji UU terhadap UUD di Amerika Serikat,” imbuh Janedjri yang didampingi moderator K.A. Badaruddin selaku Sekretaris Ditjen Perbendaharaan.
Lebih lanjut, ungkap Janedjri, selang beberapa tahun terjadi perkembangan pemikiran mengenai konstitusi. Adalah pakar hukum Hans Kelsen dari Austria, yang memunculkan gagasan agar ketentuan konstitusi sebagai hukum tertinggi dapat dijamin pelaksanaannya, diperlukan organ yang menguji apakah suatu produk hukum bertentangan atau tidak dengan konstitusi. “Sampai akhirnya tahun 1920 Konstitusi Austria membentuk Verfassungsgerichtshoft atau Mahkamah Konstitusi yang pertama di dunia,” ujar Janedjri.
Bagaimana dengan sejarah institusionalisasi MK di Indonesia? Janedjri menjelaskan secara sekilas bahwa di masa perjuangan tokoh nasional Moh. Yamin dalam rapat BPUPK mengusulkan perlunya Balai Agung (MA) diberi wewenang untuk ‘membanding’ (menguji) undang-undang. Namun Soepomo tidak setuju, dengan sejumlah alasan, antara lain UUD tidak menganut prinsip pemisahan kekuasaan dan pengujian undang-undang bertentangan dengan supremasi MPR.
Namun bertahun-tahun kemudian, pada era reformasi terjadilah amandemen atau perubahan UUD 1945 sebanyak empat kali (1999, 2000. 2001, 2002). Sebelum perubahan UUD 1945, MPR adalah lembaga tertinggi negara, pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat dan penjelmaan seluruh rakyat.
“Sesudah perubahan UUD 1945 tidak ada lagi pengelompokan lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara, kedudukan setiap lembaga negara ditentukan oleh fungsi dan wewenangnya yang diberikan oleh UUD. Selain itu, masing-masing lembaga saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances),” tandas Janedjri.
Bertolak dari amandemen UUD 1945, terjadi perkembangan baru konstitusi Indonesia hingga dibentuk Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) pada 13 Agustus 2003. Seperti diketahui, MKRI memiliki wewenang menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa antara lembaga negara, memutus sengketa hasil pemilihan umum, membubarkan partai politik dan wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan atau Wakil Presiden menurut UUD. (Nano Tresna A.)