Para pengacara meminta Pasal 65 KUHAP ditafsirkan oleh MK. Saksi atau ahli yang dihadirkan tersangka atau terdakwa ‘wajib’ didengarkan oleh penyidik atau majelis hakim di persidangan. Bukan sekedar ‘berhak’.
Sejumlah pengacara yang kerap mendampingi kliennya dalam penyidikan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meradang. Mereka ‘gondok’ dengan tingkah laku penyidik KPK yang kerap mengabaikan pemeriksaan saksi dan atau ahli yang dihadirkan kliennya (tersangka) di tingkat penyidikan. Menurut mereka, penyidik KPK telah seenaknya menafsirkan Pasal 65 KUHAP.
Pasal 65 KUHAP menyatakan ‘Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan/atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya’. Karena tak ada kata ‘wajib’, maka saksi atau ahli yang diajukan terdakwa kerap ditolak kesaksian atau keahliannya.
‘Curahan hati’ para pengacara ini diwujudkan dalam permohonan judicial review terhadap Pasal 65 KUHAP ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka meminta agar MK menafsirkan pasal ini dengan ‘mewajibkan’ penyidik atau majelis hakim di pengadilan untuk memeriksa saksi dan/atau ahli yang diajukan oleh tersangka atau terdakwa.
Para pengacara yang menggugat ketentuan ini berjumlah 18 orang. Mereka, diantaranya, adalah Purwaning M Yanuar, Rico Pandeirot (advokat dari kantor hukum OC Kaligis), Gabriel Mahal, Petrus Bala Pattyona, Teuku Nasrullah, Afrian Bondjol dll.
“Praktek ini terjadi dalam perkara atas nama Syaukani Hasan Rais, Naerthais, Aulia Pohan. Dalam penolakannya, KPK memberikan penafsiran atas rumusan tersebut, dengan mengemukakan bahwa kata ‘berhak’ dalam rumusan tersebut bukan berarti ‘wajib’,” demikian argumen yang tertulis dalam permohonan.
Masih dalam permohonannya, para pemohon menilai Pasal 65 ini bersifat sumir sehingga menimbulkan banyak penafsiran yang berakibat pada tidak adanya kepastian hukum sebagaimana dijamin Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. “Hal tersebut membuka peluang bagi lembaga-lembaga penegak hukum seperti KPK melakukan penafsiran yang sesat,” sebut mereka dalam permohonan.
Penjelasan Pasal 65 yang menyatakan ‘cukup jelas’ pun ikut-ikutan diuji oleh pemohon. Pasalnya, pada hakikatnya, pasal tersebut belum cukup jelas. “Pasal tersebut mengatur mengenai hak dari tersangka atau terdakwa untuk mengajukan saksi dan ahli, tanpa disertai dengan adanya kewajiban bagi penyidik, penuntut umum dan hakim untuk memeriksa ahli”.
Lebih lanjut, para pemohon berargumen Hukum Acara Pidana di Indonesia mendekati model due process of law sebagaimana ditawarkan oleh Herbert L Packer. Para tersangka atau terdakwa seharusnya diberi kesempatan yang sama (dengan penyidik atau penuntut umum) untuk membela dirinya di tingkat penyidikan maupun di pengadilan.
Berdasarkan catatan hukumonline, keterangan ahli dari terdakwa yang ditolak untuk didengarkan pernah terjadi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Majelis Hakim Tipikor yang dipimpin oleh Kresna Menon menolak untuk mendengarkan keterangan ahli Chairul Huda. Pakar Hukum Pidana ini dihadirkan oleh terdakwa kasus korupsi IPK dalam pembangunan lahan kelapa sawit di Kaltim, Uuh Ali Yudin.
Chairul yang sejatinya ‘diplot’ menerangkan sifat melawan hukum pidana gagal menyampaikan keahliannya. Kresna berpendapat tidak ada materi hukum pidana yang harus dijelaskan dalam perkara tersebut. Menurutnya, majelis sudah mempunyai keahlian tentang hukum pidana. Dalam ilmu hukum memang dikenal adagium ius curia novit, bahwa hakim dianggap sudah mengerti hukum.
Meski pengacara terdakwa menggunakan Pasal 65 KUHAP sebagai dasar, toh Kresna bersikukuh menolak. Menurutnya, ahli diperlukan dalam hal ada keragu-raguan bagi hakim dalam bidang tertentu, misalnya tentang kedokteran. “Kalau hukum pidana, kita sudah tahu,” ujar Kresna kala itu.[Ali]
Sumber: www.hukumonline.com