Jakarta, MK Online - Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati tampil sebagai narasumber dalam seminar “Kelanjutan Pendidikan di Indonesia Pasca Dicabutnya UU BHP” yang diselenggarakan BEM FH UI pada Jumat (7/5) sore di kampus UI Depok. Dalam acara itu hadir pula narasumber Rully Chairul Azwar Wakil Ketua Komisi X DPR, serta Dekan FH UI Safri Nugraha dan Harman Setiawan dari Kementerian Pendidikan Nasional.
Di awal seminar, Maria Farida Indrati memaparkan sejumlah alasan Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP). MK menilai UU BHP inkonstitusional karena tiga alasan. Pertama, secara filosofis, UU BHP berisi pemaksaan dan penyeragaman bentuk BHP, padahal MK memandang BHP sebagai fungsi penyelenggara pendidikan, bukan bentuk badan hukum tertentu. Secara sosiologis, UU BHP tidak bisa diterapkan di masyarakat karena ada sekitar 1.600 PTS yang terancam tidak jalan karena harus menjadi BHP.
“Secara yuridis, UU BHP dianggap bertentangan dengan UU lain, dalam hal ini adalah UU Yayasan,” kata Maria yang mengupas berbagai masalah yang menjadi latarbelakang MK membatalkan UU BHP.
Lebih lanjut Maria menanggapi langkah dan alternatif yang perlu dilakukan pasca pembatalan UU BHP. Menurut Maria, dalam situasi darurat dan untuk mengisi kekosongan hukum dengan dibatalkan UU BHP, bisa saja dibentuk alternatif pengganti UU BHP, antara lain berupa Perppu, UU baru atau PP baru. “Namun harus tetap dengan tata kelola dan tata rencana yang diatur secara benar,” tegas Maria di hadapan para peserta seminar.
Sementara itu, anggota DPR Rully Chairul Azwar mengungkapkan, “Apapun bentuk aturan hukumnya, yang terpenting saat ini adalah bagaimana kita menyikapi dan mengambil langkah-langkah berikutnya untuk menghindari terjadinya ketidakpastian akibat adanya kekosongan hukum, khususnya dalam tata kelola satuan pendidikan.”
“Perlu dipertimbangkan untuk menetapkan skala prioritas tingkat satuan pendidikan yang akan diatur tata kelolanya dalam aturan hukum baru pengganti UU BHP. Untuk satuan pendidikan setingkat SMA, SMP, SD dan dibawahnya, pengelolaan bisa lebih fleksibel,” tambah Rully.
Rully menuturkan, tujuh PT BHMN dalam ‘Kesepakatan Bogor’ 24 – 25 April 2010, antara lain mengusulkan bahwa status 7 perguruan tinggi negeri sebagai badan hukum milik negara harus tetap dipertahankan dan lebih dikukuhkan. Juga, diperlukan PERPU untuk memperkuat kedudukan PT BHMN dan dapat menjadi payung hukum hingga keluarnya UU BHP yang baru sesuai perintah Pasal 53 ayat 4 UU Sisdiknas.
Lebih jauh Rully mengatakan bahwa pendidikan merupakan tanggungjawab negara dan tanggungjawab ini tidak bisa dialihkan kepada masyarakat. Namun, bukan berarti masyarakat tidak diperkenankan mendirikan lembaga pendidikan formal berupa sekolah-sekolah swasta. “Kalau masyarakat mau ikut menyelenggarakan kegiatan pendidikan berupa sekolah-sekolah swasta, silahkan saja dan tidak dilarang,” tandas Rully. (Nano Tresna A.)