Jakarta, MK Online - Mahkamah Konstotusi (MK) kembali menggelar sidang uji materi Pasal 108 ayat (1) beserta penjelasan Pasal 108 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang dimohonkan oleh Misran selaku perawat di puskesmas pembantu daerah Kutai Kartanegara, Kamis (06/05) di ruang sidang pleno MK. Agenda sidang kali ini adalah mendengarkan keterangan Pemerintah, Pihak Terkait dan Saksi.
Pemerintah dalam hal ini menilai tidak ada kontradiktif antara pasal yang diajukan uji materi terhadap UUD 1945. ”Pemberian obat sebagai salah satu praktek kefarmasian harus diberikan oleh tenaga kesehatan ahli yang memiliki kewenangan agar tidak terjadi kesalahan dalam pemberian obat. Apabila terjadi kesalahan, maka dampaknya akan fatal yakni berupa kecacatan dan bahkan sampai kematian terhadap pasien,” terang Sri Indrawati, Dirjen Bina Kefarmasaian Kementrian Kesehatan.
Ketentuan yang termuat dalam pasal yang diujikan menurut Indrawati merupakan salah satu syarat sebagai pertimbangan kehati-hatian agar tidak ada penyalahgunaan obat. Oleh sebab itu Pemohon dalam hal ini salah alamat dan tidak relevan apabila ingin mengujikan UU Kesehatan ini karena sebenarnya pasal ini justru melindungi pasien.
Perlindungan Bidan dan Perawat
Selanjutnya, pihak terkait yakni Ikatan Dokter Indonesia (IDI) memberikan keterangan bahwa Pasal 108 ayat (1) memang hanya dokter, dokter gigi, tenaga farmasi yakni apoteker yang seharusnya berhak menyimpan dan mendistribusikan obat tertentu semisal obat keras atau obat daftar G (anti biotik, obat bius red). ”Apabila bukan dilakukan tenaga ahli maka ada efek samping. Artinya, obat yang berkhasiat menyembuhkan justru bisa membahayakan,” kata Prijo Sidipratomo selaku ketua umum IDI.
Namun demikian, bidan dan juga perawat harus mendapatkan perlindungan di daerah agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. ”Jadi untuk itu, penjelasan dari Pasal 108 ayat (1) harus diperjelas dan direvisi agar pelayanan kesehatan juga menjadi jelas siapa saja yang berwenang dalam pemberian obat bebas, obat bebas terbatas serta obat keras atau daftar G,” terangnya.
Sementara itu pihak Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) memberikan keterangan bahwa Pasal 108 merugikan Perawat terutama Pemohon. Kondisi di daerah terpencil yang tidak ada dokter atau tenaga apoteker merupakan permasalahan tersendiri dalam pelayanan kesehatan di Indonesia.
”Perawat juga ikut dalam proses pelayanan kesehatan yang dalam situasi darurat harus secara tepat dan cepat memberikan bantuan. Apabila tidak ada dokter dan apoteker ketika ada kondisi darurat di daerah terpencil dan harus memberikan obat daftar G kepada pasien, apakah harus menunggu dokter yang membutuhkan jangka waktu berjam-jam karena kondisi geografis,” terang Achriyani S. Hamid selaku ketua PPNI.
Maka dari itu, menurut Achriyani perlu adanya peninjauan atas Pasal 108 ayat (1) UU Kesehatan ini sehingga perawat yang berada di garis depan tidak takut memberikan pelayanan dan juga tidak menjadi korban.
Dalam sidang ini, Saksi juga didatangkan oleh Pemohon yang kemudian memberikan keterangan bahwa terdapat kasus pasien yang meninggal karena tidak diberi pelayanan akibat dari ditangkapnya Misran selaku Pemohon uji materi ini. ”Perawat yang mulai tahun 1980 hingga 2008 selalu bisa dipanggil setiap saat dan 24 jam, saat ini menjadi takut salah dan takut dipenjarakan,” kata Andi Baharuddin.
Selama ini, menurut Andi, masyarakat sudah biasa meminta pertolongan kepada perawat karena tidak ada dokter. ”Aneh juga apabila polisi yang sering berobat dan mendapat pelayanan kesehatan dari perawat akhirnya menangkap perawat. Ini seperti iklan saja yang mengatakan jeruk makan jeruk,” cetusnya.
Misran sebagai Pemohon uji materi ini merupakan seorang perawat di puskesmas pembantu di Kutai Kartanegara, saat ini diancam pidana karena memberikan obat daftar G kepada pasien. Sementara itu, tidak ada kesalahan atau penanganan yang salah saat Misran memberikan pertolongan pengobatan kepada pasien. (RN Bayu Aji)