Jakarta, MK Online - Pemilihan Umum (Pemilu) Walikota dan Wakil Walikota Semarang masih penuh masalah. Dari masalah pelaporan dana kampanye, kesalahan identitas dalam sosialisasi oleh KPU, sampai kepada dugaan terjadinya money politics yang dilakukan oleh beberapa pasangan calon.
Masalah-masalah tersebut terungkap dalam persidangan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Mahkamah Konstitusi (MK). Persidangan perkara yang diregistrasi dengan Nomor 3/PHPU.D-VIII/2010 yang dimohonkan oleh pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota Mahfudz Ali dan Anis Nugroho Widharto dan perkara nomor 4/PHPU.D-VIII/2010 dengan pemohon pasangan calon Bambang Raya Saputra dan Kristanto, dilangsungkan di Ruang Sidang Pleno Gedung MK RI, Rabu siang (05/05), dengan agenda sidang pemeriksaan perkara.
Termohon dalam hal ini adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Semarang. Pada persidangan itu hadir Ketua KPU Kota Semarang, yakni Mohammad Hakim Junaidi beserta beberapa anggota KPU lainnya. Mereka didampingi kuasa hukum Hadi Sasono dan Susilo Yuwono. Pada sidang itu, hadir pula pihak terkait dari Pasangan Calon Terpilih yang diwakili oleh kuasa hukumnya. Kedua permohonan ini disidangkan oleh Panel Majelis Hakim yang sama yang diketuai Moh. Mahfud MD, sedangkan Maria Farida Indrati dan M. Arsyad Sanusi, masing-masing sebagai hakim anggota.
Kedua pemohon dalam permohonannya meminta kepada Majelis agar keputusan KPU Kota Semarang No. 25/Kpts/KPU Kota-012.329521/2010 tanggal 23 April 2010, tentang Penetapan dan Pengumuman Rekapitulasi Hasil Penghitungan suara Pemilihan Umum Walikota dan Wakil Walikota Semarang Tahun 2010 dinyatakan batal dan tidak mengikat secara hukum. Selain itu juga mereka meminta Pemilu Walikota dan Wakil Walikota Kota Semarang 2010 diulang.
Dalilkan Pelanggaran KPU
Menurut pasangan Mahfudz Ali dan Anis. N, melalui kuasa hukumnya, Amir Syamsuddin, mendalilkan bahwa KPU Kota Semarang telah melakukan berbagai macam kesalahan dan pelanggaran dalam penyelenggaraan Pemilu. Sehingga, berakibat kepada berkurangnya atau hilangnya jumlah dukungan suara kepada mereka.
Berdasarkan permohonannya, Amir, menyebutkan kesalahan dan pelanggaran yang telah dilakukan dengan sengaja oleh Termohon. “Laporan dana kampanye yang tidak diumumkan Termohon, tidak diverifikasinya Calon Perseorangan oleh Termohon meskipun ada perintah KPU (pusat) agar calon perseorangan diverifikasi Termohon, dibiarkannya ada politik uang (money politics), sosialisasi Termohon terhadap salah satu Calon Wakil Walikota yang salah dalam menulis agamanya dan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang bermasalah,” sebutnya.
Dalam hal pelaporan dana kampanye, Pemohon mengakui bahwa telah menjalankan ketentuan dengan benar, sedangkan pasangan calon yang lain tidak. “Pemohon telah taat asas menyerahkan laporan penerimaan sumbangan dana kampanye pada tanggal 31 Maret 2010 (bukti P-6), sementara Pasangan calon yang lain tidak ada yang menyerahkan pada saat itu dan tidak dilakukannya kewajiban itu oleh pasangan calon lain, KPU Semarang melakukan pembiaran. Lebih parah lagi KPU tidak pernah melakukan pengumuman penerimaan dana kampanye tersebut melalui media massa, tetapi hanya dalam bentuk berita dalam media massa dan itu terjadi sesudah tanggal 8 April 2010 (limitasi pelaporan sesuai ketentuan adalah 31 Maret 2010),” tegas Amir dalam persidangan.
Terkait dengan dugaan terjadinya kecurangan politik uang, ditengarai telah dilakukan oleh pasangan calon nomor urut 3 (tiga), yaitu Bambang Raya Saputra dan Kristanto, serta nomor urut 5 (lima), yakni pasangan H. Soemarmo dan Hendrar Prihardi. “Kecurangan telah terjadi secara masif dan sistematis, di seluruh kecamatan di Kota Semarang” ungkap salah satu kuasa hukum Pemohon.
Sedangkan pemohon yang lain, melalui kuasa hukumnya, Husein Ungai, mengungkapkan bahwa permohonannya terkait dengan kesalahan penulisan profil Pemohon dalam sosialisasi yang dilakukan oleh Termohon. Kesalahan ini dalam hal pencantuman identitas agama Pemohon (Kristanto), yang sebenarnya beragama Katolik, tertulis di profil beragama Islam.
“Perbuatan Termohon merubah identitas agama Pemohon Calon Wakil Walikota dari yang sebenarnya beragama Katolik menjadi beragama Islam merusak strategi yang dibangun sejak awal oleh Para Pemohon, yaitu menarik para pemilih Warga Negara Keturunan Cina dan pemeluk Agama Katolik. Sehingga pengaruh sangat signifikan terhadap hasil perolehan suara para Pemohon,” tutur Husein.
“Dengan demikian Pemohon tidak memperoleh pengakuan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum, sehingga KPU Kota Semarang melanggar Pasal 28D UUD 1945 dan Pasal 67 UU No. 32 Tahun 2004” katanya menambahkan.
Majelis Minta Kejelasan Jumlah Suara
Menanggapi uraian para pemohon, Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi, mempertanyakan kejelasan jumlah suara yang dipermasalahkan oleh Pemohon. Dikarenakan pemohon tidak secara rinci mengurai berapa hilang suara pada masing-masing daerah. “Seberapa signifikan selisih suaranya? Dalam rekapitulasi yang mana? Perlu ada rincian perbedaan suara di setiap tahapan dan daerah,” tanyanya. Akhirnya Ia pun mengusulkan permohonan untuk diperbaiki.
Sidang ditutup oleh Ketua Majelis dengan kesepakatan untuk melakukan perbaikan atas permohonan. “Sidang berikutnya dilanjutkan dengan perbaikan serta saksi-saksi. Kalau banyak, nanti kita maraton, kita nanti bisa sampai malam, siap-siap saja,” Mahfud mengingatkan. “Siapkan bukti-bukti, kalau cacat prosedur, maka akan kita batalkan. Jika substansi yang bermasalah, akan diputuskan (pemungutan) ulang untuk calon atau daerah tertentu. Tapi jika KPU benar, selesai (permohonan ditolak). Ini kemungkinan-kemungkinan putusannya,” ujar Mahfud sebelum menutup sidang. (Dodi H.)