Jakarta, MK Online - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3), Rabu (5/5), di Gedung MK. Perkara yang diregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 7/PUU-VII/2010 dimohonkan oleh Bambang Supriyanto, Aryanti Artisari, Jose Dima Satria, dan Aristya Agung Setiawan.
Dalam sidang mendengarkan keterangan Pemerintah ini, Pemerintah yang diwakili oleh Direktur Litigasi Dephukham Qomaruddin menyatakan bahwa Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) karena hak angket yang tercantum dalam Pasal 77 ayat (3) UU Nomor 27/2009 merupakan hak DPR sebagai sebuah lembaga negara yang diwujudkan oleh anggota DPR. “Akan tetapi, kami menyerahkan sepenuhnya mengenai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon kepada Majelis Hakim Konstitusi,” jelasnya.
Menurut Qomaruddin, Pasal 77 ayat (3) UU nomor 27 /2009 merupakan perwujudan dari Pasal 20A ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat”.” Selain itu, secara yuridis hak angket merupakan hak DPR untuk menyelidiki suatu kebijakan Pemerintah yang bertentangan dengan perundang-undangan dan menimbulkan masalah di masyarakat,” paparnya.
Dalam permohonannya, Bambang Supriyanto sebagai Pemohon menganggap hak angket yang dilakukan oleh anggota DPR periode 2009 – 2014 mengenai kasus Bank Century yang terjadi pada tahun 2008 melanggar konstitusi. “Hal tersebut karena hak angket mengenai Bank Century hanya berhak dilakukan oleh anggota DPR periode 2004- 2009 ketika kasus Bank Century mencuat,” jelasnya.
Menanggapi pernyataan Pemohon tersebut, Qomaruddin menilai jika hak angket hanya bisa dilakukan perperiode anggota DPR, maka sistem check and balances dalam ketatanegaraan tidak akan berfungsi. “Karena sesungguhnya amendemen UUD 1945 justru meningkatkan hak-hak DPR untuk melakukan pengawasan terhadap Pemerintah, salah satunya melalui hak angket,” jelasnya.
Pemohon mendalilkan Pasal 77 ayat (3) UU Nomor 27/2009 bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak mengatur hak-hak DPR, yaitu hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat hanya dapat dilaksanakan terhadap pemerintah pada masa yang sama. Kondisi yang demikian telah menciptakan dan mengakibatkan terjadinya ketidakpastian hukum dalam ranah hukum tata negara di Indonesia. Kondisi ketidakpastian hukum ini tentu tidak boleh dan tidak dapat dibiarkan begitu saja. Hal tersebut bertentangan dengan Pasal 7 dan Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945 yang mengandung norma konstitusi, antara lain bahwa periode masa jabatan Presiden dan DPR adalah sama-sama lima tahun, dan dalam periode yang sama. Pelaksanaan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dapat dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan atau berbeda, namun intinya adalah bahwa periode masa tugas DPR dan pemerintah adalah dalam periode yang sama. Pada Pemilu tahun 2004 dan 2009, Pemilu Legislatif dilaksanakan lebih dahulu daripada Pemilu Presiden. (Lulu Anjarsari)