Pembatasan Peninjauan Kembali Diajukan ke MK
Jumat, 07 Mei 2010
| 09:39 WIB
Gedung Mahkamah Konstitusi
Aturan pembatasan pengajuan peninjauan kembali dipermasalahkan di Mahkamah Konstitusi. Saksi ahli pemohon Mudzakkir menilai pembatasan untuk pengajuan PK malah menimbulkan ketidakadilan hukum.
Hal ini disampaikan dalam sidang pleno MK di Jakarta, Kamis (6/5). "PK dengan alasan bukti baru atau novum tidak perlu dibatasi. Pembatasan memberi ketidakadilan karena dengan menutup atau meniadakan PK kedua bisa mengakibatkan adanya pembiaran atas putusan pengadilan yang memiliki kesesatan nyata merampas keadilan masyarakat," ujar Mudzakkir.
Ia setuju terhadap ketentuan pembatasan jika itu menjamin adanya kepastian. Hanya, ia menilai dengan praktik hukum yang selama ini berjalan, keputusan PK dirasa tidak sepenuhnya memberikan rasa keadilan. Misalnya, adanya praktik suap di lingkungan pengadilan yang bisa mempengaruhi putusan.
Padahal, upaya hukum luar biasa melalui PK adalah untuk memberikan rasa keadilan. Ia lebih cenderung untuk mengutamakan keputusan yang adil daripada mengutamakan kepastian hukum itu sendiri. "Hukum tidak bisa dipisahkan dari rasa keadilan. Kepastian hukum dan keadilan adalah sama dan tidak bisa dipisahkan. Proses yang tepat memberikan jaminan hukum. Jaminan hukum itu memberi keadilan," tukasnya.
Sebelumnya, para pemohon atas nama Muh. Burhanuddin dan Rachmat Jaya merasa dirugikan secara konstitusional dengan adanya aturan tersebut. Mereka meminta agar Pasal 24 ayat (2) UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat 1 UU 14/1985 tentang MA dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Terhadap hal ini, pihak pemerintah yang diwakili oleh Direktur TUN JAM Datun Fachmi menyatakan bahwa permohonan tersebut tidak berkaitan dengan masalah konstitusionalitas keberlakuan norma tersebut. PK dinilainya sudah memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta memberikan kebebasan pada warga negara.
"Logika pemohon yang menyatakan dalam proses kepastian hukum, fakta hukum banyak ditemui di lapangan sehingga proses PK di MA seharusnya lebih dari satu kali adalah tidak berdasar karena akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang disebabkan perkara tidak pernah selesai. Sistem peradilan pidana yang fair akan menjadi sistem peradilan pidana yang bertele-tele, melelahkan, serta kepastian hukum dan keadilan hukum juga tidak akan kunjung diperoleh," tukasnya.
Dinny Mutiah, Media Indonesia.com