Jumat, 7 Mei 2010
JAKARTA (Suara Karya): Pakar hukum pidana, Mudzakir, dan Direktur TUN Jamdatun Kejaksaan Agung, Fachmi, berbeda pendapat soal upaya hukum luar biasa (PK) lebih dari sekali.
Dalam sidang "gugatan" atas UU No 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU 3/2009 tentang Mahkamah Agung dan UU 8/1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana terkait Peninauan Kembali (PK) di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, kemarin, Mudzakir menegaskan PK sebaiknya bisa dilakukan berulangkali.
Sedangkan Fachmi menyatakan PK lebih dari sekali justru menimbulkan ketidakpastian hukum.
Menurut Mudzakir, upaya hukum PK tak perlu dibatasi karena dapat memunculkan ketidakadilan. "Kalau ada bukti baru yang bisa terjadi kapan saja dan bisa 1 kali, PK tidak perlu dibatasi dan pembatasan PK bisa memunculkan ketidakadilan," ujarnya.
Ia berpendapat, PK yang berasaskan kepastian dan keadilan ternyata belum bisa menegakkan keadilan. "Ketika asas kepastian dan keadilan berbenturan maka yang didahulukan adalah asas keadilan.
Putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum bisa diperiksa kembali dalam PK. Maka dapat dijelaskan mana yang diutamakan keadilan atau kepastian. Yang adil adalah keadilan di atas kepastian dan kepastian ada keadilannya," tuturnya.
Fachmi yang mewakili pemerintah berpendapat bahwa PK adalah bentuk upaya hukum yang bersifat luar biasa atau istimewa. Dengan demikian penggunaannya pun dilakukan secara selektif, dan hanya digunakan dalam situasi khusus.
Ia mengatakan, terkait PK dinilainya sudah tepat sesuai dengan UU 5/2004 Jo UU 3/2009 tentang perubahan kedua atas UU 14/1985 tentang Mahkamah Agung dan pasal 268 (3) UU No 8/1981 tentang KUHAP.
"Logika hukum pemohon tidak berdasar karena akan menimbulkan ketidakpastian hukum," tambahnya.
Selain itu, kata Fachmi, jika PK lebih dari sekali dikabulkan oleh MK maka akan berpotensi timbulnya fakta-fakta hukum baru (novum).
"Perkara tidak pernah selesai, selain itu juga dapat menunda tegaknya keadilan bagi pencari keadilan itu sendiri hingga jangka waktu yang tidak dapat ditentukan mengingat potensi akan timbulnya fakta-fakta hukum baru yang bisa mengubah putusan PK yang telah ada sebelumnya," jelasnya. (Wilmar P)
Sumber: www.suarakarya-online.com