Jakarta, MK Online - Mahkamah Konstitusi (MK) menyidangkan pengujian dua UU sekaligus pada Rabu (5/5/2010) pukul 10 WIB. Pertama, UU 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), terutama pada pasal mengenai hak angket. Kedua, UU 6/1954 tentang Penetapan Hak Angket DPR. Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan Pemerintah, DPR, dan saksi/ahli dari Pemohon.
Perkara pertama teregistrasi dengan No.7/PUU-VIII/2010, sementara yang kedua nomor 8/PUU-VIII/2010. Namun, Pemohon keduanya sama, yakni Bambang Supriyanto, Aryanti Artisari, Jose Dima Satria, dan Aristya Agung Setiawan. Persidangan dilakukan oleh sembilan anggota Majelis Hakim yang diketuai Mahfud MD.
Dalam UU MD3, norma materiil yang dipersoalkan adalah Pasal 77 ayat (3) yang berbunyi “hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan”. Sementara itu, dalam UU 6/1954 tentang Penetapan Hak Angket DPR, yang dipersoalkan adalah seluruh norma.
Pemohon menganggap UU yang diujikan bermasalah dan meminta permohonan Pemohon “Petitum kami bersifat kondisional, sebab kami tidak bermaksud menggagalkan UU hak angket DPR ini. Petitum kami adalah agar Pasal 77 ayat (3) berlaku secara konstitusional dengan syarat sepanjang hak angket dilaksanakan terhadap pemerintah dalam periode yang sama dengan DPR yang bersangkutan,” terang Pemohon. Sementara untuk UU 6/1954, Pemohon meminta MK memutuskan UU secara keseluruhan ini tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Dalam persidangan, pemerintah berpendapat hak angket dalam UU yang diujikan adalah hak DPR yang perwujudannya dilaksanakan oleh anggota DPR sendiri. “Memang UU tentang hak DPR baru diatur sebagian saja dalam UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD, tapi untuk hak angket, pengaturannya sudah jelas,” jelas wakil dari pemerintah.
Sementara itu, menyinggung pemakzulan, Hakim Arsyad Sanusi menanyakan tentang alasan-alasan yang melatarbelakanginya. Lalu, Pemohon menjelaskan bahwa alasan-alasan pemakzulan adalah justifikasi sebagai konsekuensi terganggunya hak konstitusional Pemohon. Sebagai simpatisan Partai Demokrat, Pemohon merasa dirugikan jika pemakzulan terjadi dan melihat pelaksanaan hak angket DPR sebagaimana yang telah terjadi, hanya menghabiskan negara yang besar.
“Selain itu, secara logika dan analogi DPR periode 2009-2014 pun akan dapat melakukan hak angket sehubungan dengan kebijakan pemerintah pada periode 2001-2004 jika UU tentang hak angket DPR diberlakukan, meskipun kita tidak meminta agar angket dinyatakan tidak sah,” kata Pemohon.
Pemohon pada prinsipnya menggarisbawahi agar di masa datang, tidak lagi terjadi pelaksanaan hak angket sebagaimana yang terjadi kemarin, yang memberi potensi dan mengarah pada pemakzulan. (Yazid)