Jakarta, MK Online - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar pengujian Undang-Undang No.10 Tahun 2008 tentang Pemilihan umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, Selasa (04/05), di Ruang Sidang Panel Gedung MK. Sidang perkara Nomor 27/PUU-VIII/2010 ini mengagendakan pemeriksaan pendahuluan.
Perkara ini dimohonkan oleh Sefriths E. D. Nau, dengan kuasa hukumnya Melkisedek Constatinus Talan, Nikolaus Toislaka dan Bill Nope. Persidangan ini dilakukan Majelis Hakim Panel Ahmad Fadlil Sumadi sebagai Ketua, M. Akil Mochtar dan Achmad Sodiki sebagai Anggota.
Norma yang dimintakan diuji adalah Pasal 218 ayat (3) UU Pemilu yang berbunyi “Calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diganti dengan calon dari daftar calon tetap Partai Politik Peserta Pemilu pada daerah pemilihan yang sama berdasarkan surat keputusan pimpinan partai politik yang bersangkutan.” Pemohon mendalilkan, rumusan ini inkonstitusional sepanjang menyangkut frasa “daftar calon tetap”.
Pemohon sebagai anggota Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI) ini menyatakan dalam permohonannya, bahwa pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan (3), serta Pasal 28H ayat (2) UUD 1945.
Pasal ini telah merugikan hak konstitusional Pemohon, di mana menurut Pemohon, seharusnya dirinya dilantik sebagai anggota legislatif DPRD Kabupaten Timur Tengah Selatan (TTS) oleh KPUD TTS. Tetapi karena terdapat pasal tersebut, menjadikan dirinya tidak bisa dilantik. “Pasal 218 sangat bersifat statis, tidak mengakomodir kepentingan Pemohon. Pemohon telah memenuhi syarat, tapi karena frasa itu kepentingan Pemohon tidak dapat diakomodir,” ungkap salah satu kuasa hukum pemohon. Pemohon dalam konteks ini bertindak sebagai calon legislatif pengganti dari pergantian antar waktu (PAW) yang dilakukan oleh PPDI terhadap salah satu anggotanya.
Dalam persidangan, terungkap bahwa dalam permohonannya bahwa argumentasi Pemohon masih belum jelas dan membingungkan. Oleh karenanya, banyak pertanyaan yang dilontarkan oleh majelis kepada kuasa hukum Pemohon untuk lebih memahami pokok permohonan. “Saudara harus mengkonstruksi betul-betul dengan pasal-pasal atau norma-norma UUD sebagai batu uji. Uraian-uraian hak konstitusional harus jelas,” tegas Akil Mochtar.
Selain itu, terungkap juga beberapa kekurangan pada permohonan pemohon. Rumusan permohonan terlalu panjang dan hubungan antara pasal tersebut, kerugian pemohon, dan hak konstitusional yang dilanggar dalam UUD 1945 masih belum diargumentasikan dengan baik. “Pasal yang menjadi batu uji harus diperbaiki, kewenangan MK yang diuraikan tidak usah terlalu banyak,” lanjut Akil.
“Simpulannya adalah, struktur harus jelas. Rujukannya Pasal 24C (UUD 1945). Legal standing dikonstruksi dengan melihat Pasal 51 UU MK. Apakah tepat pasal 28C dan 28D menjadi batu uji. Hak itu dirugikan dengan adanya pasal ini. Itu harus dibuktikan,” ungkap Fadlil. Kemudian Fadlil melanjutkan, “pokok permohonan, frasa itu bertentangan dengan UUD, kenapa? dan bagaimana? Apakah telah menghilangkan hak asasi, atau ketidakpastian hukum, atau apa?”
Majelis Hakim Konstitusi memberi waktu 14 hari kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya pada sidang berikutnya. “Jika permohonan tidak diperbaiki, maka permohonan ini yang menjadi pegangan majelis,” Fadlil mengingatkan. (Dodi H.)