Jakarta, MK Online - Sejak reformasi politik 1998, UUD 1945 telah mengalami perubahan yang mengakibatkan berubahnya sendi-sendi ketatanegaraan. Salah satu perubahan yang cukup mendasar adalah perubahan pola hubungan pemerintah pusat dan daerah yang semakin otonom dan desentralistik.
“Desentralisasi adalah sistem yang menegaskan antara kekuasaan dan kewenangan, sekaligus perwujudan asas demokrasi, rakyat diberikan kesempatan ikut serta dalam urusan-urusan pemerintahan dengan melalui saluran-saluran tertentu,” ujar Hakim Konstitusi M. Arsyad Sanusi yang memberi kuliah kepada para mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Mathla’ul Anwar, Pandeglang, Banten, Kamis (29/4) siang di gedung Mahkamah Konstitusi (MK).
Selain mengenai desentralisasi, Arsyad menjelaskan juga masalah otonomi di negara kesatuan. Dikatakan Arsyad, otonomi adalah satuan-satuan organisasi pemerintahan setempat disamping pemerintah pusat atau daerah otonom. Disamping itu, otonomi dapat diartikan sebagai wewenang menyelenggarakan kepentingan sekelompok penduduk yang berdiam dalam satu wilayah tertentu.
“Melalui otonomi, daerah otonom berwenang mengatur, mengurus, mengendalikan dan mengembangkan berbagai hal yang perlu dibagi tata tertib kehidupan dan perkembangan masyarakat setempat, termasuk di dalamnya adalah memiliki keuangan sendiri, aparatur kepegawaian dan sebagainya,” papar Arsyad di hadapan 242 mahasiswa yang dipimpin Dekan FH Universitas Mathla’ul Anwar, Epi Hasan Ripa’i.
Kuliah dengan tema “Pemilihan Kepala Daerah Dalam Sistem Ketatanegaraan RI” ini juga menyinggung dasar hukum pemilukada. Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 menyebutkan bahwa “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.” Hal ini berarti, pemilihan kepala daerah dan wakil daerah dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas “Luber” (langsung, umum, bebas, rahasia).
Terkait masalah pemilukada, sambung Arsyad, tidak menutup kemungkinan terjadinya sengketa pasca pemilukada. Persoalan sengketa pemilukada ini pun juga diatur dalam undang-undang. Sejak Pemilu 2004, konstitusi juga membuka kesempatan bagi peserta pemilu termasuk pemilukada yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu di forum MK.
“MK berfungsi mengawal dan menafsir konstitusi, melindungi hak asasi dan mengontrol demokrasi. Salah satu wewenang MK adalah memutus perselisihan hasil pemilu termasuk juga hasil pemilukada,” kata Arsyad.
Ditambahkan Arsyad, Pasal 236C UU No.12/2008 tentang Pemerintahan Daerah menjadi dasar hukum bahwa MK berwenang memutus perselisihan hasil pemilukada. Pasal 236C tersebut menetapkan, “Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.”
Alhasil pada 29 Oktober 2008, ujar Arsyad, Ketua Mahkamah Agung (MA) dan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) bersama-sama telah menandatangani Berita Acara Pengalihan Wewenang Mengadili, sebagai pelaksanaan Pasal 236C UU Nomor 12 Tahun 2008. (Nano Tresna A.)