Jakarta, MK Online - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar pengujian Undang-Undang Nomor 27 Yahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), Rabu (28/4), di Gedung MK. Perkara yang diregistrasi dengan Nomor 26/PUU-VIII/2010 ini diajukan oleh 16 Pemohon yang terbagi dalam dua kelompok, yakni yang berasal dari Anggota DPR dan masyarakat umum. Adapun pokok sengketanya adalah norma yang mengatur mengenai kuorum hak menyatakan pendapat DPR telah keluar dari ketentuan konstitusi, sehingga menyulitkan penggunaan hak tersebut.
Melalui kuasa hukumnya, Maqdir Ismail, dkk, Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 184 ayat (4) UU MD3 melanggar hak konstitusional Pemohon, baik sebagai Anggota DPR maupun warga negara. Pasal 184 ayat (4) menyatakan bahwa ”Usul sebagaimana di maksud pada ayat (1) menjadi hak menyatakan pendapat DPR apabila mendapat persetujuan dari Rapat paripurna DPR yang dihadiri paling sedikit ¾ (tiga perempat) dengan persetujuan paling sedikit ¾ (tiga perempat)dari jumlah anggota DPR yang hadir”. Maqdir menjelaskan bahwa secara yuridis, UUD 1945 memberikan jaminan yang sangat kuat bagi kedudukan DPR dalam mengunakan fungsi pengawasan terhadap jalannya roda pemerintahan, di antaranya adanya hak menyatakan pendapat. Pada kenyataannya, ketentuan tentang hak menyatakan pendapat oleh DPR dalam pasal 184 ayat (4) UU No. 27 Tahun 2009 bertentangan dengan ketentuan Pasal 7B ayat (3) UUD 1945.
“UUD 1945 memberikan hak kepada DPR untuk Menyatakan Pendapat agar prinsip Cheks and balances dan prinsip kesetaraan kedudukan diantara lembaga terjaga dengan baik dan dengan dianutnya prinsip demokrasi dan accountability merupakan adanya pertanggungjawaban dari pihak yang diberi mandat untuk memerintah, kepada mereka yang memberi mandat dalam hal ini dalah rakyat yang memberikan mandat kekuasan kepada Pemerintah untuk memerintah dan harus bertanggungjawab kepada rakyat,” jelasnya.
Dalam Pasal 7B ayat (3), jelas Maqdir, menegaskan hak menyatakan pendapat oleh DPR cukup didukung sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah Anggota DPR yang hadir dalam Sidang Paripurna yang di hadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah Anggota DPR. “Selain itu, Ketentuan Pasal 184 ayat (4) UU No. 27 Tahun 2009 nyata-nyata juga bertentangan secara hierarki dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sebagaimana yang ditentukan dalam UU No. 10 Tahun 2004,” ujarnya.
Selanjutnya, Maqdir menjelaskan apabila persyaratan hak menyatakan pendapat tersebut dicermati dengan seksama, terdapat perbedaan yang signifikan antara ketentuan Pasal 184 ayat (4) UU No. 27 Tahun 2009 dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 7B ayat (3) UUD 1945. Perbedaan kedua ketentuan tersebut, sambung Maqdir, telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan kesimpangsiuran hukum yang dapat membawa dampak negatif terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia.
Selain itu, ketentuan syarat mengajukan hak menyatakan pendapat dalam pasal 184 ayat (4) menyebabkan terjadinya perampasan atau pengurangan hak atau kewenangan konstitusional DPR untuk menyatakan Pendapat sebagaimana dimaksud oleh Pasal 7B ayat (3). “DPR mengalami kesulitan dalam menggunakan haknya menyatakan pendapat, karena terganjal persyaratan harus memenuhi quorum dihadiri oleh ¾ Anggota DPR. Menyebabkan DPR tidak dapat menjalankan fungsinya mengajukan pengujian politik terhadap pemerintah,” paparnya.
Oleh karena itu, Pemohon meminta agar MK menugaskan Presiden untuk segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, sejauh menyangkut materi yang diatur Pasal 184 ayat (4) UU No. 27 tahun 2009 tersebut, yang sesuai dengan putusan Mahkmah Konstitusi pada perkara ini, yakni harus mengandung makna bahwa pelaksanaan Sidang Pariputrna untuk menyatakan pendapat adalah 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh 2/3 dari seluruh anggota DPR. “Itu jika permohonan kami dikabulkan oleh MK. Hal itu mempertimbangkan problem konstitusi untuk menghindari kekosongan hukum,”paparnya.
Menanggapi penjelasan kuasa hukum Pemohon tersebut, Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar mengingatkan kewenangan MK. “MK tidak bisa menugaskan Presiden untuk membuat Perppu seperti yang dimohonkan Pemohon karena bukan kewenangan MK. Mungkin sebaiknya Pemohon mengganti petitum menjadi konstitusional bersyarat untuk menghindari adanya kekosongan hukum yang dimaksud Pemohon,” paparnya.
Sementara itu, Ketua Majelis Hakim panel Hamdan Zoelva mempersoalkan kedudukan hukum Pemohon yang merupakan Anggota DPR dan perorangan. Menurut Hamdan, Pasal 7B Ayat (3) UUD 1945 merupakan hak konstitusional DPR sebagai sebuah lembaga. “Sekarang bagaimana hak konstitusional sebuah lembaga itu dialihkan kepada hak konstitusional Pemohon yang merupakan perorangan? Apa kaitannya dengan hak konstitusional pemohon sebagai warga Negara? Itu harus dijelaskan karena saya belum melihat konstruksinya,” tandasnya. (Lulu Anjarsari)