Jakarta, MK Online - Sejumlah pelajar putri yang berasal dari Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Putri Nahdatul Ulama (IPPNU) melakukan kunjungan ke Mahkamah Konstitusi (MK), Jum’at (23/4) siang. Kedatangan mereka bertujuan untuk mengetahui proses perubahan UUD 1945, wewenang serta tugas MK di Indonesia. Mereka diterima langsung oleh Wakil Ketua MK Achmad Sodiki dengan penuh canda tawa.
Dalam kesempatan ini, Sodiki memulai pertemuan kunjungan dengan menjelaskan sejarah UUD 1945 pada era orde lama. Pada saat itu UUD 1945 dinilai tidak mencukupi tuntutan masyarakat dan kurang Demokratis. Hal itu ditunjukkan dengan periode jabatan presiden yang dapat dipilih enam kali periode berturut-turut.
“Selain itu Sodiki juga mengatakan pada era orde lama, wakil-wakil rakyat tidak dipilih langsung oleh rakyat sehingga menimbulkan presepsi bahwa yang berdiri tidak mewakili rakyat, melainkan mewakili kekuasaan. Akibatnya dari kekuasaan tersebut menimbulkan banyak kasus korupsi yang sampai sekarang masih merajalela. Ibaratnya kalau itu kasus korupsi diwarisi sampai saat ini adalah seperti bisul yang sudah matang dan sekarang pecah karena dahulu tidak ada yang berani mengungkapkan kasus korupsi,” ujar Hakim Konstitusi dari kota Apel, Malang tersebut kepada pelajar putri NU.
Sodiki melanjutkan, perubahan UUD 1945 terdiri dari 5 poin, poin terakhir menjelaskan tentang dibentuknya lembaga hukum baru yaitu, MK dan KY. KY bertugas untuk mengawasi hakim tetapi saat ini tidak untuk mengawasi hakim MK karena kewenangannya telah dibatalkan oleh putusan MK.
Selanjutnya, Sodiki juga menjelaskan tentang wewenang MK yang putusannya bersifat akhir dan mengikat (Final and Binding). Wewenang yang paling banyak dilakukan MK adalah menguji UU terhadap UUD 1945, selain itu MK juga pernah memutus perselisihan Legislatif dengan gugatan yang mencapai 640 perkara yang harus diselesaikan dalam waktu satu bulan. Hal ini mengakibatkan para Hakim MK yang dibantu Panitera harus menginap di gedung MK.
Peserta kunjungan yang juga merupakan mahasiswa dari berbagai Universitas berkesempatan bertanya seputar MKRI. Misalnya, ada yang menanyakan mengapa di Indonesia masih diberlakukan Hukum Belanda.
Selain itu ada beberapa pertanyaan yang dilontarkan oleh moderator yang sekaligus merupakan pimpinan dari rombongan peserta. Ia sempat membaca wacana yang ditulis oleh Moh. Yamin, wacana itu menjelaskan perlunya dibentuk MK di Indonesia tetapi wacana itu ditolak oleh Prof. Dr. Soepomo. Yang ia tanyakan apakah pada saat itu ada kasus yang perlu diselesaikan, sehingga Moh. Yamin merasa perlu dibentuk lembaga MK pada saat itu.
Sodiki menjelaskan, wacana yang ditulis Moh. Yamin bertepatan dengan tumbangnya pimpinan Jerman, Adolf Hittler. Pada masa kekuasaannya, ia membuat UU dengan seenaknya, sehingga pada saat kekuasaan Hittler jatuh dibuatlah MK Jerman yang menguji UU yang dibuat Hittler.
“Itulah hal yang menyebabkan Moh. Yamin merasa perlu dibentuk MK di Indonesia pada saat itu,” ungkapnya. (Indri/Tiwi)