Jakarta, MK Online - Pembentukan Mahkamah Konstitusi di suatu negara pada prinsipnya dilatarbelakangi empat hal. Hal yang pertama adalah paham konstitusionalisme, dalam pengertian kewibawaan hukum harus mampu mengatasi permasalahan negara. Kalau tak mampu mengatasi permasalahan negara, demokrasi akan liar. Selain itu konsep-konsep hak sipil warga negara harus dijamin oleh konstitusi.
“Hal yang kedua, pelaksanaan check and balance agar tidak terjadi overlapping antara kewenangan lembaga negara. Namun demikian, kelemahan dari pelaksanaan mekanisme check and balance merupakan teori tanpa ujung, saling mengontrol dan berputar,” ungkap Hakim Konstitusi H.M. Akil Mochtar saat memberi ceramah singkat pada Peserta Pendidikan Latihan (Diklat) Terpadu Jaksa dan Hakim Mahkamah Agung (MA) yang berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (22/4) siang di gedung Mahkamah Konstitusi (MK).
Hal ketiga sebagai latar belakang pembentukan MK, lanjut Akil, penyelenggaraan negara yang bersih (clean government). MK merupakan kekuasaan yang dapat ditempatkan untuk melakukan kontrol terhadap akuntabilitas pejabat publik dalam melakukan tugas dan fungsinya agar tetap berpijak pada nilai moralitas. “Sedangkan hal yang keempat adalah perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM). Artinya tetap berpijak pada prinsip dan menghormati demokrasi maupun melindungi hak asasi manusia,” tambah Akil.
Dalam kesempatan itu Akil juga menerangkan masalah prinsip kedaulatan rakyat dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Dijelaskannya, sesuai dengan Perubahan Pasal 2 Ayat (1) UUD 1945, bahwa “Kedaulatan rakyat dilakukan sepenuhnya berdasarkan Undang-Undang.” Hal ini berarti, terjadi pergeseran prinsip bahwa sebelumnya UUD 1945 menyebutkan bahwa “Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR.”
“Oleh sebab itu, sekarang kedudukan MPR dengan lembaga-lembaga negara lainnya, termasuk di dalamnya MK adalah setara. MPR bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara,” imbuh Akil lagi.
Lebih lanjut Akil membahas secara panjang lebar mengenai wewenang dan kewajiban MK, sesuai Pasal 10 UU No.24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dikatakannya, wewenang utamanya adalah melakukan pengujian UU terhadap UUD (judicial review). Wewenang lainnya adalah memutus sengketa yang terjadi antara lembaga negara, membubarkan partai politik serta memutus sengketa hasil pemilihan umum serta pemilukada.
“Lainnya, MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden yang diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela,” tandas Akil. (Nano Tresna A.)