Jakarta, MK Online - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian terhadap Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No. SE.06/Pres.Kab/6/1967 tentang Masalah Cina, Rabu (21/4), di Gedung MK. Perkara yang teregistrasi oleh Kepaniteraan MK dengan Nomor 24/PUU-VIII/2010 dimohonkan oleh Anggota DPR dari Fraksi Demokrat, Eddy Sadelly.
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No. SE.06/Pres.Kab/6/1967 Tentang Masalah Cina, telah merugikan hak kostitusionalnya dan juga surat edaran tersebut dianggap pemohon mengatur dan mengikat seperti halnya undang-undang. “Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No. SE.06/Pres.Kab/6/1967 mengabaikan dan melanggar hak–hak konstitusional Pemohon dan tidak ada lagi langkah hukum lain yang dapat ditempuh untuk memulihkan hak-hak konstitusional tersebut selain mengajukan permohonan permohonan pencabutan Surat edaran tersebut,” jelasnya.
Menurut Pemohon, penggantian istilah Tionghoa menjadi Cina merupakan wujud pengabaian dari hak-hak konstitusional warga negara, diskriminatif dan menyakitkan hati masyarakat Tionghoa. Surat edaran tersebut, lanjut Pemohon, harus dicabut karena bertentangan dengan pasal 26 ayat (1), Pasal 28I ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945. “Tidak pernah ada dalam konstitusi negara kita, menyebut Tionghoa menjadi Cina. Jangan sampai ada peraturan pemerintah yang menstempel istilah tersebut, maka akan terjadi diskriminasi oleh struktur (discrimination by structure),” ujarnya.
Ketua Majelis Hakim Panel M. Akil Mochtar memberikan saran agar Pemohon mengubah permohonannya menyesuaikan permohonan yang masuk ke MK. “Format permohonan Pemohon tidak lazim. Pemohon harus mencantumkan identitas, kewenangan MK sesuai Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat 1 huruf a UU Nomor 24/2003 tentang MK dan kedudukan hukum Pemohon (legal standing),” jelasnya.
Dalam petitum Nomor 4, lanjut Akil, Pemohon meminta MK agar menugaskan Presiden untuk mencabut Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No. SE.06/Pres.Kab/6/1967. “Petitum tersebut bukan kewenangan MK. MK hanya bisa membatalkan pasal dalam UU,” ujarnya.
Akil menyarankan agar Pemohon yang merupakan Anggota Komisi II DPR memasukkan perkara ini ke dalam Rapat Kerja bersama DPR. “Hal tersebut lebih mudah untuk dilaksanakan ketimbang Pemohon mengajukan ke MK. MK hanya akan melihat dari sisi normatif Surat Edaran tersebut, tetapi jika diajukan ke DPR dapat dilihat secara normatif dan juga secara politis,” sarannya.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati meminta agar Pemohon menjelaskan kedudukan Surat Edaran tersebut pada masanya. “Hal itu dapat membantu Majelis Hakim Konstitusi menentukan kedudukan Surat Edaran tersebut, apakah setara dengan Undang-Undang? Hal ini akan memengaruhi untuk menentukan apakah perkara yang diajukan Pemohon merupakan kewenangan MK atau bukan,” ujarnya.
Sedangkan Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva menyarankan agar Pemohon mengubah kedudukan hukumnya menjadi perorangan. “Lebih baik Pemohon mengajukan perkara ini sebagai perorangan, bukan sebagai Anggota DPR karena sebenarnya Anggota DPR tidak bisa mengajukan pengujian Undang-undang karena DPR-lah yang merancang dan mensahkan UU bersama Presiden,” tandasnya. (Lulu Anjarsari)