Jakarta, MK Online - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan permohonan yang diajukan oleh Huzrin Hood tidak dapat diterima. Demikian amar Putusan Nomor 18/PUU-VIII/2010 ini yang dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD, Selasa (20/4), di Gedung MK.
Dalam pertimbangan hukum, Hakim Konstitusi Ahmad Fadhil Sumadi menjelaskan bahwa Pemohon memohon, “Menyatakan Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 tanggal 24 Maret 2009, khususnya syarat berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama 5 (lima) tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Permohonan a quo, lanjut Fadhil, adalah sama dengan amar putusan Mahkamah Nomor 4/PUU-VII/2009 tanggal 24 Maret 2009 yang memutus “... serta Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak memenuhi syaratsyarat: (i) ...; (ii) berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama 5 (lima) tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya; (iii) ... dan seterusnya”.
“Oleh karena petitum permohonan a quo adalah pengujian mengenai Putusan Mahkamah Nomor 4/PUU-VII/2009 tanggal 24 Maret 2009, maka berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK, dan Pasal 29 ayat (1) huruf a UU 48/2009 salah satu kewenangan Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945, sehingga menurut Mahkamah, Mahkamah tidak berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo,” jelas Fadhil.
Sementara itu, berkaitan dengan dalil Pemohon yang menganggap hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Pasal 58 huruf g UU 12/2008, Fadhil menjelaskan bahwa MK berpendapat ketentuan tersebut berlaku bagi setiap warga negara Indonesia yang oleh putusan pengadilan dinyatakan dicabut hak pilihnya. Secara universal, lanjut Fadhil, peniadaan hak pilih hanya karena antara lain, faktor usia yang belum memenuhi ketentuan Undang-Undang (dewasa), dan keadaan sakit jiwa, serta ketidakmungkinan (impossibility) karena telah dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (vide Putusan Mahkamah Nomor 11-17/PUU-I/2003 tanggal 24 Februari 2004). Selain itu, dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan tanggal 1 April 2010, terungkap fakta hukum berupa pengakuan dari Pemohon yang menyatakan Pemohon tidak pernah mendapatkan pidana tambahan berupa pencabutan hak pilihnya baik hak pilih aktif maupun hak pilih pasif (hak untuk dipilih).
“Oleh karena itu, MK berpendapat tidak terdapat kerugian konstitusional Pemohon atas berlakunya Pasal 58 huruf g UU 12/2008 a quo. Oleh karena itu Pemohon tidak memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing),” ujarnya. (Lulu Anjarsari)