Jakarta, MK Online - Dalam pemahaman publik, perjudian adalah sesuatu yang dilarang. Namun, Farhat Abbas yang menjadi kuasa hukum Suyud dan Mr. Liem Dat Kui, mengujikan KUHAP dan UU 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian ini ke Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (21/4/2010).
Menurut mereka, ada beberapa hal yang dapat mengecualikan dilarangnya bentuk perjudian. “Pada masyarakat Tionghoa, ada sebuah permainan yang dianggap biasa oleh warganya, namun dikategorikan perjudian oleh UU ini,” kata Farhat. Ia bahkan melihat, diperberatnya hukuman bagi penjudi dari 4 tahun menjadi 10 tahun adalah melanggar hak konstitusi.
Hal itu termaktub dalam Pasal 303 ayat (1) KUHP yang berbunyi “...diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun atau pidana denda paling banyak dua puluh lima juta rupiah, barang siapa tanpa mendapat izin: ke-1, dengan sengaja menawarkan atau memberikan kesempatan untuk permainan judi dan menjadikannya sebagai pencarian, atau dengan sengaja turut serta dalam suatu perusahaan untuk itu, ke-2, dengan sengaja menawarkan atau memberi kesempatan kepada khalayak umum untuk bermain judi atau dengan sengaja turut serta dalam perusahaan itu, dengan tidak peduli apakah sesuatu untuk menggunakan kesempatan adanya sesuatu syarat atau dipenuhinya sesuatu tata cara.”
Pemohon mengajukan 14 norma untuk diuji. Dalam KUHP, yang diajukan yakni Pasal 303 ayat (1), ayat (2), ayat (3), Pasal 303 bis ayat (1), Pasal 303 bis ayat (2). Dalam UU 7/1974, Pemohon mengujikan Pasal 1 yang berbunyi “menyatakan semua tindak pidana perjudian sebagai kejahatan”, lalu Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2), Pasal 2 ayat (3), Pasal 2 ayat (4), Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 4, dan Pasal 5.
“Pasal-pasal yang kami sebutkan telah mendiskriminasi klien kami. Judi bagi agama lain tidak semua dilarang. Kami juga melihat ada malfunction dari pemberlakuan pasal ini, yakni bahwa judi dianggap sebagai pidana berat, padahal mestinya hanya pelanggaran administratif biasa,” terang Farhat Abbas.
Nasihat Hakim
Majelis Hakim Penel perkara No.21/PUU-VIII/2010 yang diketuai Hamdan Zoelva dengan didampingi Maria Farida Indrati dan Arsyad Sanusi mempertanyakan pasal-pasal UUD 1945 yang dijadikan batu uji, hak gugat Pemohon (legal standing), serta kerugian konstitusional Pemohon. “Jangan asal menggunakan batu uji, misalnya Pasal 27 Ayat 1, apa korelasinya dengan perjudian? Begitu juga pasal lain sepeti yang anda cantumkan,” tegur Hamdan.
“Saya melihat permohonan ini seperti cerita. Susunan permohonannya juga rancu. Ada yang dicetak tebal, serta ada kalimat yang diulang-ulang, tolong diperbaiki,” pinta Maria Farida Indrati. Sementara Arsyad Sanusi menasehati Pemohon agar mampu menjelaskan hubungan dari argumentasi yang dikemukakan, dengan hak gugat Pemohon (legal standing) dan kerugian konstitusional Pemohon. (Yazid)