Sembilan orang hakim konstitusi secara bergantian membacakan putusan Mahkamah Konstitusi terhadap uji materi Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama di Gedung MK, Senin (19/4/210). Pada putusan setebal lebih dari 350 halaman tersebut, hakim kembali membacakan pandangan pihak pro dan kontra terhadap undang-undang tersebut.
Hakim juga membacakan kembali alasan pihak pemohon mengajukan uji materi undang-undang tersebut. Intinya, UU tersebut dinilai berpotensi mengganggu kebebasan beragama. Negara tidak seharusnya mencampuri urusan agama yang bersifat privat. Undang-undang ini berpotensi menciptakan kriminalisasi kebebasan beragama.
Selain itu, hakim juga membacakan kembali intisari pandangan pihak yang mendukung keberadaan undang-undang tersebut, seperti Majelis Ulama Indonesia, Hisbut Tahrir Indonesia, dan Front Pembela Islam. Pihak yang mendukung keberadaan undang-undang tersebut berpandangan bahwa produk hukum tersebut justru melindungi orang-orang yang menganut keyakinan yang dinilai sesat. Tanpa adanya undang-undang tersebut, orang-orang yang menganut keyakinan sesat dapat berpotensi dihakimi massa.
Hingga berita ini diturunkan, hakim masih terus membacakan putusannya. Uji materi ini diajukan Imparsial, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Pusat Studi HAM dan Demokrasi (Demos), Masyarakat Setara, Yayasan Desantara, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), (alm) KH Abdurrahman Wahid, Prof DR Musdah Mulia, Prof M Dawam Rahardjo, dan KH Maman Imanul Haq.
Ada lima norma yang akan diuji, yaitu Pasal 1, Pasal 2 ayat 1, Pasal 2 ayat 2, Pasal 3, dan Pasal 4. MK akan menggunakan sembilan norma UUD 1945 sebagai alat uji, yaitu Pasal 1 ayat 3, Pasal 27 ayat 1, Pasal 28D ayat 1, Pasal 28E ayat 1, Pasal 28E ayat 2, Pasal 28E ayat 3, Pasal 28I ayat 1, Pasal 28I ayat 2, Pasal 29 ayat 2.
www.kompas.con