Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi.
Senin, 19 April 2010
JAKARTA (Suara Karya): Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mendesak agar UU Pembuktian Terbalik agar segera disahkan. Menurut dia, UU Pembuktian Terbalik mutlak harus lebih berguna menyukseskan gerakan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Saat berbicara dalam sebuah seminar di Surabaya, Minggu, Mahfud menuturkan, dengan diberlakukannya UU Pembuktian Terbalik, penyidik di kejaksaan maupun di kepolisian tidak perlu susah-susah mendapatkan bukti tindak kejahatan seseorang.
"Misalnya, jaksa menuduh saya melakukan korupsi sekian miliar rupiah berdasarkan besaran gaji yang saya terima. Saya bisa menjawabnya dengan memberikan penjelasan mengenai uang miliaran rupiah yang saya punya itu, seperti nilai kekayaan yang diperoleh dari warisan dan sebagainya," kata Mahfud.
Menurut dia, selama UU Pembuktian Terbalik belum diberlakukan, aparat penegak hukum akan terus mengalami kesulitan dalam melakukan pembuktian atas kasus kejahatan, terutama korupsi. Sebaliknya, setelah undang-undang tersebut diberlakukan, tidak akan ada lagi alasan bagi penyidik menolak berkas perkara kejahatan korupsi karena alasan kurang bukti.
Mahfud juga menegaskan, penerapan hukuman mati akan sanggup menimbulkan efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi. "Mahkamah Konstitusi juga telah menyetujui hukuman mati ini," ujarnya.
Keputusan itu, menurut Mahfud, dibuat pada tahun 2000. "Tetapi, sampai sekarang pemerintah belum menerapkan hukuman mati ini dalam kasus korupsi," kata Mahfud.
Menurut Mahfud, penerapan hukuman mati dalam kasus korupsi tidak harus berdasarkan nilai nominal yang dikorupsi semata. Tetapi, juga bisa berdasar pertimbangan lain. Misalnya, nilai korupsi Rp 2 miliar oleh bupati diberi bobot berbeda dibanding jika tindakan tersebut dilakukan hakim.
"Hakim merupakan penegak hukum, sehingga tindakan korupsi oleh hakim merupakan pelanggaran berat," kata Mahfud.
Sementara itu, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak pemerintah agar segera membersihkan seluruh institusi hukum serta Ditjen Pajak dari praktik mafia yang nyata-nyata merugikan keuangan negara. Praktik mafia dinilai sudah mengancam upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.
Seruan itu diutarakan Juru Bicara Koalisi Masyarakat Sipil Febri Diansyah kepada pers di Jakarta, kemarin. Koalisi antara lain terdiri atas Indonesia Corruption Watch (ICW), Indonesia Police Watch (IPW), dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK).
Mereka menilai, saat ini adalah momentum paling tepat untuk melakukan pembersihan institusi hukum. Bukan hanya sekadar menindak mereka yang terlibat, tetapi bahkan merombak total kelembagaan. Mulai aspek kepemimpinan, sistem, regulasi, promosi dan mutasi, pengawasan, sanksi, kekayaan yang tak wajar, hingga program remunerasi yang layak.
"Kapolri dan Jaksa Agung tidak mampu membersihkan, menjaga, dan menempatkan institusi masing-masing sebagai penegak hukum yang ideal," kata Febri.
Penanganan kasus mafia pajak, yang melibatkan Gayus Tambunan dan Bahasyim Assifie atau kasus-kasus lain berbau praktik mafia, rentan terhadap upaya penunggangan untuk kepentingan politik pencitraan maupun kamuflase komitmen antikorupsi. Jika ditangani secara parsial, kasus tersebut bisa jadi memperkuat konsolidasi mafia di tubuh masing-masing institusi hukum. "Ibarat tanaman, lahan untuk praktik mafia ada di tubuh kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan terutama Ditjen Pajak masih sangat subur," ujar Febri.
Karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar memprioritaskan pembersihan institusi penegak hukum--terutama kepolisian dan kejaksaan--serta Ditjen Pajak dari praktik mafia. Caranya dengan melakukan penggantian struktur pimpinan di institusi Polri dan Kejagung.
Presiden juga harus mengeveluasi reformasi birokrasi dan segera menyusun regulasi pemilikan kekayaan pejabat dan aparat pemerintahan melalui mekanisme pembuktian terbalik. Itu, terutama harus dilakukan di Ditjen Pajak dan secara bertahap kemudian diterapkan pula di institusi-institusi penegak hukum.
Koalisi juga meminta Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) agar mengevaluasi sistem pengawasan dan pemberian sanksi yang selama ini amat lemah. Sedangkan, organisasi advokat harus proaktif dan tidak melakukan pembelaan terhadap advokat yang terlibat praktik mafia hukum.
Sementara itu, Ketua Presidium Indonesian Police Watch (IPW) Neta S Pane menilai, pejabat kepolisian berpangkat rendah cenderung dikorbankan untuk menyelamatkan mereka yang berpangkat tinggi dalam dugaan makelar kasus di tubuh Polri.
"Sampai saat ini, hanya Kompol Arafat yang dijadikan tersangka, sementara dua jenderal polisi belum diperiksa. Brigjen Pol Raja Erizman belum dicopot. Padahal Susno Duadji jelas-jelas mengarahkan informasi terhadap dua jenderal itu karena mereka mencairkan uang (di rekening Gayus)," katanya.
Indikasi mengorbankan pejabat rendahan kepolisian itu juga dapat dilihat dari tim independen yang tidak transparan. Bahkan, Brigjen Raja Erizman dikabarkan masuk tim. Padahal dia berstatus terperiksa.
Selain itu, dalam dugaan praktik mekelar kasus ini, Susno yang justru dipersoalkan. Sementara substansi tindakan pidananya tidak ditindak secara tegas.
Neta menambahkan, kecenderungan semacam itu merupakan ambivalensi Polri dalam membongkar praktik mafia hukum dan makelar kasus. Karena itu, katanya, IPW tidak percaya dugaan praktik makelar kasus di tubuh Polri ini ditangani polisi.
Dalam kesempatan terpisah, pengacara mantan Kabareskrim Polri Komjen Susno Duadji, M Assegaf, membantah bahwa kliennya disuap atau menerima uang dari tersangka Gayus Tambunan dan Sjahril Djohan. "Tidak benar Pak Susno terima uang dari mereka. Saya sudah klarifikasi ke Pak Susno," katanya.
Menurut dia, Gayus dan Sjahril sejak awal berniat memberikan uang kepada Susno sebesar Rp 500 juta. Tapi, niat itu tidak pernah terwujud. "Jadi, itu urusan mereka, dan tidak ada urusannya dengan Pak Susno," ujar Assegaf. (Nefan/Antara/Hanif)
Sumber: www-suarakarya-online.com