UU PNPS no 4 tahun 1963 tentang pengamanan terhadap barang-barang cetakan yang isinya dapat mengganggu ketertiban umum kembali digugat di Mahkamah Konstitusi (MK). Kali ini yang menggugat adalah Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI) dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri.
Menurut Kuasa Hukum Pemohon Taufik Basari, pemohon pertama yaitu ISSI adalah penerbit buku berjudul Dalih Pembunuhan Masal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto, karya John Roosa. Sementara itu pemohon kedua Rhoma Dwi Aria Yuliantri yang bersama Muhidin M Dahlan menulis Lekra tak Membakar Buku Suara Senyap Lembar Kebudayaan.
"Keduanya bukunya dilarang melalui SK MK pada tanggal 22 Desember 2009," kata Taufik dalam Sidang Panel Pertama di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Kamis (15/4).
Sidang panel hakim tersebut dipimpin oleh Hakim Konstitusi Muhammad Alim sebagai Ketua, dan dua anggota Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi, dan Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva.
Menurut Taufik, antara tahun 2006 sampai 2009, Kejaksaan Agung telah melarang 22 buku, sebagian besar buku akademik. Padahal sejak awal reformasi Mei 1998 hingga 2005 Kejaksaan Agung tidak melarang buku.
Baru pada tahun 2006 berselang dua tahun dari terbitnya UU No 16/2004 tentang Kejaksaan RI yang mengubah fungsi Kejaksaan Agung terhadap barang cetakan dari 'pengamanan' menjadi 'pengawasan', Kejaksaan Agung mulai melarang buku.
Dia menyatakan, dalam kasus pelarangan buku sejak tahun 2006, Kejaksaan Agung merujuk pada UU No 4/PNPS/1963 sebagai pembenaran kewenangannya merlarang buku. Pasal pertama dalam undang-undang tersebut menyatakan bahwa,"Menteri Jaksa Agung berwenang untuk melarang beredarnya barang cetakan yang dianggap menggangu ketertiban umum."
Direktur ISSI, I Gusti Agung Ayu Ratih yang juga hadir mengatakan ISSI dirugikan dalam hal menggunakan hak-haknya untuk berpendapat karena dalam melakukan pekerjaan, ISSI tidak pernah asal-asalan tapi dengan serius dan pemikiran menghasilkan sesuatu yang bisa dinikmati dan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. "Pelarangan adalah semacam ketidakpastian hukum apakah pekerjaan kami pada gilirannya nanti dilarang. Apakah kami tidak akan punya kesempatan menguji hasil-hasil penelitian," katanya.
Ayu Ratih mengakui, subyek-subjek yang dipilih memang kontroversial, seperti buku John Roosa. Tapi dengan mengajukan hal-hal yang ditabukan masyarakat Indonesia mendapat kesempatan untuk menguji dan menganalisis berbagai hasil peneilitian.
"Secara umum, kami menganggap bahwa keberadaan UU akan membuat orang orang semakin ragu-ragu untuk menerbitkan buku karena proses menerbitkan buku bukan hal yang murah dan risiko material," katanya.
Masalah kedua adalah soal kebebasan berpendapat. Seandai buku yang diterbitkan pun mengganggu menggangu kertertiban umum, selama 2 tahun beredar, tidak ada keributan.
"Apakah terorisme atau (kerusuhan) Koja terjadi karena baca buku John. Alasan buku ganggu ketertiban umum itu adalah absurd. Ada hal-hal lain yang jauh lebih fundamental. Itu yang membuat kami bertekad untuk terus melawan, jalannya melalui MK," kata Ayu Ratih.
Mengenai pelarangan buku, uji materi terhadap UU PNPS juga diajukan Darmawan, penulis buku Enam Jalan Menuju Tuhan. Buku itu dilarang peredarannya oleh Kejaksaan Agung pada tahun lalu. Darmawan lantas meminta Mahkamah mencabut beleid itu, beserta Pasal 30 Ayat (3) huruf c dalam Undang-undang Kejaksaan yang juga memberi kewenangan pada kejaksaan untuk melarang buku. Kedua aturan tersebut dianggap melanggar hak asasi manusia untuk berpendapat, yang tercantum dalam Undang-undang Dasar 1945.
Selain itu, permohonan uji Materi UU 4/PNPS/1963 dan Pasal 30 Ayat (3) huruf c UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI juga diajukan Muhidin M Dahlan selaku penulis buku Lekra Tak Membakar Buku, M Chozin selaku Ketua Umum PB HMI-MPO, Eva Irma, Adhel Setiawan, dan Syafrimal selaku mahasiswa.
Dwi Tupani, MediaIndonesia.com