Jakarta, MK Online - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan), Kamis (15/4/2010), bertempat di ruang sidang panel lt. IV gedung MK. Agenda sidang adalah pemeriksaan pendahuluan untuk perkara Nomor 19/PUU-VIII/2010.
Pemohon perkara ini adalah H.M. Bambang Soekarno yang dalam pengantarnya menyatakan dirinya masyarakat petani dari desa Petarangan Kabupaten Temanggung Jawa Tengah. Sejak kecil Pemohon bersama seluruh anggota keluarga dan masyarakat di desanya terbiasa pergi ke sawah untuk menanam cengkeh dan tembakau yang merupakan komoditas unggulan masyarakat di daerah Pemohon. "Saya, Mbah, Bapak, Ibu dan saudara-saudara adalah petani tembakau. Waktu saya kecil sering diajak ke sawah untuk mencangkul, menanam tembakau," kenang Pemohon.
Lebih lanjut Pemohon memaparkan, Kabupaten Temanggung yang mempunyai tiga gunung, Gunung Sumbing, Sindoro, Merbabu, merupakan daerah potensial penghasil cengkeh dan tembakau. Tembakau Srintil dari Temanggung adalah tembakau primadona yang memiliki kualitas terbaik di Indonesia. "Tembakau Srintil adalah tembakau terbaik yang menjadi lauk-pauknya rokok kretek di Indonesia," terang Pemohon.
Oleh karena itu, roda perekonomian Temanngung juga bergantung pada pertanian tembakau dan cengkeh. "Kalau pertanian tembakau hasilnya baik, Temanggung yang mempunyai slogan kota bersenyum akan betul-betul bersenyum," jelas Pemohon.
Pemohon yang mengaku sembilan kali ke MK untuk melengkapi permohonan ini yang mendalilkan Pasal 113 ayat (2) UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bertentangan Pembukaan (preambule), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A dan Pasal 28I UUD 1945.
Pasal 113 ayat (2) UU tersebut bertentangan dengan asas keadilan karena hanya mencantumkan satu jenis tanaman pertanian yaitu tanaman tembakau yang dianggap menimbulkan kerugian. Padahal masih banyak jenis tanaman pertanian lainnya yang juga mempunyai dampak tidak baik bagi kesehatan. Pasal 113 ayat (2) menyebutkan, "Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya."
Sementara itu, dalam ketentuan umum Pasal 1 UU Kesehatan juga tidak ada satu ayat pun yang menyebut istilah zat adiktif, namun kemudian dimunculkan pasal khusus yaitu Pasal 113 ayat (2). Hal ini mengundang pertanyaan bagi Pemohon, "Apa maksud dan tujuan pemerintah memasukkan zat adiktif di pasal 113 ayat 2 tersebut?" tanya Pemohon.
Menurut Pemohon, bahan yang mengandung zat adiktif tidak sama dengan narkotika atau psikotropika, oleh karena itu tidak dapat dimasukkan dalam kategori yang sama dengan golongan narkotika atau psikotropika. Dengan demikian, secara hukum perlakuan terhadap kedua kategori ini haruslah berbeda, yakni bahan yang mengandung zat adiktif penanganannya dilakukan dengan proses pengendalian sedangkan terhadap narkotika atau psikotropika penangannya adalah melalui proses larangan, karena jelas merupakan obat atau bahan terlarang. "Seharusnya Pemerintah melindungi jenis tanaman tembakau yang menjadi unggulan Indonesia," kata Pemohon.
Dengan ditetapkannya Pasal 113 ayat (2) UU Kesehatan, maka akan berdampak psikologis dan akan mengakibatkan kerugian materiil serta tidak adanya kepastian hukum dalam kelangsungan kehidupan bagi petani tembakau dan cengkeh Indonesia, berkurangnya tenaga kerja sektor pertanian, tenaga kerja/buruh pabrik rokok, dan pihak terkait lainnya. "Seharunya Pemerintah memunculkan undang-undang perkebunan tembakau rakyat Indonesia," jelas Pemohon.
Pemohon hadir di persidangan tanpa didampingi kuasa hukum ini dalam tuntutannya (petitum) memohon menyatakan Pasal 113 ayat (2) UU Kesehatan bertentangan UUD 1945, baik dalam pembukaan (preambule), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A dan Pasal 28I, yang berarti melanggar hak asasi manusia.
Selain itu, Pemohon memohon menyatakan Pasal 113 ayat (2) UU Kesehatan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, dan memohon Pasal 113 ayat (2) untuk dicabut dan dikembalikan kepada UU Nomor 32 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Terakhir, memohon memerintahkan pemuatan putusan dalam berita negara dalam jangka waktu paling lambat tiga puluh (30) hari kerja sejak putusan diucapkan.
Nasihat Hakim
Menanggapi hal ini, Panel Hakim yang terdiri dari Ahmad Fadlil Sumadi sebagai ketua panel, dan dua anggota panel, Muhammad Alim dan Harjono, memberikan arahan dan nasehat-nasehat kepada Pemohon. Ketua Panel Ahmad Fadlil Sumadi menyarankan Pemohon agar memperjelas kerugian konstitusional yang diderita Pemohon. Fadlil juga menjelaskan mengenai pengertian pengujian formil di MK.
Memperkuat penjelasannya, Fadlil menyarankan Pemohon membuka buku saku warna merah putih yang berisi UUD 1945 dan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK yang ada di meja Pemohon. "Saudara bisa membuka Pasal 51 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi," kata Fadlil. Fadlil juga menilai permohonan Pemohon masuk kategori pengujian materiil, bukan pengujian formil. "Saudara kan meminta pengujian Pasal 113 ayat (2), itu artinya pengujian materiil," kata Fadlil.
Sebelum mengakhiri persidangan, Majelis Hakim memberi kesempatan kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonan paling lambat 14 hari. (Nur Rosihin Ana)