Jakarta, MK Online - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perbaikan permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP), Kamis (15/4), di Gedung MK. Perkara yang diregistrasi dengan Nomor 16/PUU-VIII/2010 ini dimohonkan oleh PT Harangganjang.
Dalam perbaikan permohonan, Pemohon yang diwakili kuasa hukumnya M. Farhat Abbas mengubah kedudukan hukum (legal standing) Pemohon. “Sesuai saran Majelis Hakim Konstitusi pada sidang sebelumnya, Pemohon mengganti kedudukan hukum yang semula perseorangan yang diwakili oleh Herry Wijaya menjadi Badan Hukum, yakni PT Harangganjang,” jelasnya.
Selain itu, lanjut Farhat, menambahkan Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 yang menyatakan “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan Peninjauan Kembali (PK) kepada Mahkamah Agung”. “Sesuai dengan saran Majelis Hakim, kami juga menambahkan Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 untuk diujikan. Kami meminta agar MK menambahkan aturan dalam pasal tersebut agar kuasa hukum dapat mengajukan PK lebih dari satu kali,” tambah Farhat.
Menanggapi penjelasan kuasa hukum Pemohon, Ketua Majelis Hakim Panel Hamdan Zoelva menjelaskan bawa MK hanya memiliki kewenangan menguji sebuah Undang-Undang terhadap UUD 1945. “MK tidak bisa menambahkan pasal maupun ayat baru dalam UU, tetapi hanya bisa membatalkan dan menafsirkannya saja. Kalau ingin menambahkan pasal atau ayat, Pemohon datanglah ke DPR karena itu kewenangannya,” jelasnya.
Dalam persidangan tersebut, Majelis Hakim mensahkan 29 alat bukti. Pemohon mendalilkan tiga norma dari tiga UU yang dimohonkan untuk diuji, yakni Pasal 24 ayat (2) UU No. 48/2009, Pasal 66 ayat (1) UU No. 14/1985 juncto UU No. 3/2009, dan Pasal 268 ayat (3) UU no. 8/1981 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Farhat mengungkapkan bahwa pasal-pasal tersebut tidak memiliki kejelasan, ketelitian dan konsistensi dalam proses kepastian hukum. Karena fakta hukum sangat banyak ditemui dilapangan proses pengajuan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung lebih dari satu kali. (Lulu Anjarsari)