Jakarta, MK Online - Dalam Penjelasan Umum pasal 23 UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara terkait rangkap jabatan pada paragraf 8 sepanjang frasa “diharapkan” dan “dapat” yang lengkapnya tertulis “Bahkan diharapkan seorang menteri dapat melepaskan tugas dan jabatan-jabatan lainnya termasuk jabatan dalam partai politik” tidak memiliki kepastian hukum. Ketentuan ini bertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945 mengenai kepastian hukum dan perlakuan yang adil.
Inilah yang diutarakan Fadjroel Falaakh selaku ahli Pemohon UU Kementerian Negara yang diajukan oleh Lili Chadijah Wahid, adik kandung almarhum Gus Dur, Selasa (13/04), di ruang sidang pleno MK. Sidang kali ini juga dihadiri oleh pihak terkait antara lain dari PKB, PKS, PPP, PAN dan Partai Golkar.
“Semangat UU Kementrian Negara adalah jangan sampai ada rangkap jabatan. Artinya seorang menteri harus meletakkan jabatan sebagai pimpinan parpol serta pimpinan organisasi ataupun lembaga lainnya yang dananya dibiayai oleh APBD maupun APBN. Hal ini perlu untuk menteri agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik,” tutur pengamat hukum tatanegara dari UGM ini.
Sementara itu, pihak terkait dari PPP dan PAN menjelaskan bahwa pihaknya menolak tegas dalil yang diajukan oleh Pemohon. “Dalam ketentuan UU Kementerian Negara sudah jelas bahwa rangkap jabatan tersebut dilarang pada jabatan di pemerintahan dan atau yang dibiayai oleh APBN atau APBD. Sedangkan parpol itu dibiayai oleh iuran anggota dan dibantu oleh APBN atau APBD, jadi tidak tergantung seluruhnya pada APBN atau APBD,” terang Muhammad Hadrawi kuasa hukum PPP.
Selain itu, menurut pihak PPP jabatan menteri adalah jabatan politis sehingga wajar apabila dijabat oleh pimpinan partai politik. “Ketika pimpinan partai politik menjadi menteri kan ada wakilnya yang kemudian menjalankan fungsi dan tugas ketua partai,” tambahnya.
Berbeda dengan PPP, pihak PKS justru setuju dengan adanya pelarangan rangkap jabatan. Pihak PKS mencontohkan bahwa untuk meningkatkan kinerja serta pelayanan kepada rakyat, maka menteri harus tidak rangkap jabatan. Hal itu dilaksanakan oleh PKS semenjak era Nur Mahmudi yang mundur dari presiden partai ketika jadi menteri di era Gus Dur dan juga Tifatul Sembiring yang juga mundur saat menjadi Menkominfo.
Multitafsir
Melihat perbedaan tafsir rangkap jabatan ini, Fadjroel Falaakh menjelaskan bahwa realita ini menunjukkan bermasalahnya UU Kementrian Negara dalam pengaturan rangkap jabatan. ”UU adalah perintah atau larangan. Jadi harus tegas. Frasa UU kok diharapkan dapat, sehingga seperti orang berdoa saja,” jelasnya.
Hal inilah yang kemudian menjadi tidak ada kepastian hukum menurut Fadjroel Falakh. ”Setiap orang akhirnya bisa menafsirkan sesuka hati mereka. Kalau PKS tidak membolehkan rangkap jabatan maka ya dilarang. Kalau PPP, PAN, PKB membolehkan ya tidak dilarang asalkan dapat dan mampu merangkap,” tandasnya. (RN Bayu Aji)