Jakarta, MK Online - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moh. Mahfud MD dalam seminar ”Peran dan Fungsi Bank Sentral dalam Stabilitas
Keuangan dan Perekonomian Nasional” menyatakan dirinya sudah berteriak lama soal pemberantasan korupsi dengan mengusulkan dari pembuktian terbalik sampai hukuman mati.
“Tapi, karena banyak orang yang tidak setuju, maka hukuman setengah mati saja,” kata Mahfud saat menjadi pembicara pada Seminar yang diselenggarakan atas kerjasama Universitas Islam Indonesia dan Bank Indonesia itu, di hotel Melia Purosani, Jogja, Sabtu (10/04).
Menurut Mahfud, ada tiga cara untuk meminimalkan tindakan korupsi yakni pembuktian terbalik, hukuman mati, dan hukuman setengah mati. Saat pembuktian terbalik, orang yang disangka koruptor harus membuktikan dari hasil uangnya itu. Untuk hukuman setengah mati, batasi komunikasinya.
Kemudian Mahfud MD juga menyinggung masalah Independensi Bank Indonesia (BI) berpeluang menimbulkan dilema hukum bagi para pengambil kebijakan dalam Keynote Speechnya dalam seminar ini. "Dilema itu bukan saja independensi yang dimasalahkan, tetapi melebar sampai ke masalah posisi, kewenangan, dan kekuasaan," Mahfud MD.
Bahkan, menurut dia, kedilemaan juga sampai menyentuh pada kemungkinan untuk bisa "mengkriminalkan" kebijakan pada saat melaksanakan tugas. Dalam hal ini, kebijakan BI seolah menjadi terbuka untuk dikriminalkan meskipun kebijakan itu ditempuh atau diambil dalam rangka pelaksanaan tugas.
"Mempersoalkan atau bahkan 'mengkriminalkan' kebijakan adalah isu yang masih penting dan menarik dibahas. Apalagi itu akan terkait erat dengan aktivitas BI ke depan terutama dalam rangka tugas pencapaian tujuan bank tersebut," tambah Mahfud MD.
Selanjutnya, Mahfud mengatakan ada ketentuan dalam Undang-undang (UU) Nomor 23 tahun 1999 yang memperbolehkan BI untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter. Dalam konteks itu, ada ketentuan yang intinya pembuat kebijakan tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya.
”Pada posisi apa pun BI menjadi serba salah, tidak independen maupun independen tetap saja menuai kritik. Ketika tidak independen, BI dikatakan hanya menjadi alat kekuasaan, tetapi setelah ditentukan sebagai lembaga independen tetap saja dimasalahkan. Dengan independensi dan terbuka kemungkinan BI melalui para pemimpinnya bertindak arogan, bahkan seolah tidak dapat dikontrol.
"Independensi juga menumbuhkan superioritas dan mendorong pimpinan lebih 'bebas' dan 'berani' membuat kebijakan maupun pernyataan yang sebenarnya memerlukan kedalaman pemikiran. Jadi, ada risiko ketidakcermatan," tambahnya. (dedy)