Senin, 12 April 2010
YOGYAKARTA (Suara Karya): Pengambil kebijakan tidak dapat dijatuhi hukuman atas keputusan yang diambil berdasarkan kewenangan yang dimiliki.
Demikian dikemukakan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD pada seminar "Peran dan Fungsi Bank Sentral dalam Stabilitas Sistem Keuangan dan Perekonomian Nasional" di Yogyakarta, Sabtu.
"Secara prinsip, kesalahan dalam pengambilan kebijakan atau keputusan tidak dapat dipidana," katanya.
Contohnya, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto beberapa waktu lalu dituduh menyalahgunakan wewenang dengan menerapkan atau mencabut status pencekalan terhadap tersangka koruptor.
"Berhubung keputusan tersebut murni kebijakan dan tidak ada keuntungan material dan nonmaterial yang diperoleh keduanya, Chandra dan Bibit tidak bisa dipidana karena penyalahgunaan wewenang," katanya.
Namun demikian, menurut dia, ada pengecualian terhadap beberapa kebijakan sehingga pengambil kebijakan dapat dikenai sanksi pidana, di antaranya kebijakan pejabat yang bermotifkan melakukan kejahatan internasional atau pelangggaran hak asasi manusia berat.
"Hal itu sejalan dengan doktrin hukum internasional yang sudah diadopsi sejumlah negara, di mana kebijakan yang bertujuan melakukan kejahatan internasional telah dikriminalkan," katanya.
Selain itu, kesalahan dalam mengambil kebijakan yang secara tegas ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Contohnya, ketentuan yang terdapat dalam pasal 165 Undang-undang (UU) Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
"Ketentuan tersebut memungkinkan pejabat yang mengeluarkan izin di bidang pertambangan dikenakan sanksi pidana," kata Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu.
Kebijakan lain yang juga dapat dikenai sanksi pidana adalah yang bersifat koruptif atau bermotifkan kejahatan. Dalam hal ini, yang dianggap sebagai perbuatan jahat bukan kebijakannya, melainkan niat jahat pengambil kebijakan ketika membuat keputusan.
"Jika tidak dijumpai indikasi ke arah itu, jangan dipaksa untuk dikenakan sanksi pidana," katanya.
Dia juga mengatakan Independensi Bank Indonesia (BI) berpeluang menimbulkan terjadinya dilema hukum bagi para pengambil kebijakan.
"Dalam hal ini, bukan saja independensi yang dimasalahkan, tetapi melebar sampai ke masalah posisi, kewenangan, dan kekuasaan," kata Mahfud.
Bahkan, menurut dia, sampai menyentuh pada kemungkinan untuk bisa "mengkriminalkan" kebijakan pada saat melaksanakan tugas. (Lerman S/Ant)
Sumber: www.suarakarya-online.com