Kamis, 08/04/2010 11:28 WIB
Nurseffi Dwi Wahyuni - detikFinance
Jakarta - Revisi UU No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi akan 'memanjakan' PT Pertamina (Persero). Pasalnya dengan revisi ini maka perusahaan minyak negara ini akan mendapatkan banyak prioritas dari pemerintah, karena selama ini terlihat kalah bersaing di rumah sendiri dari perusahaan-perusahaan minyak dari luar.
"Pertamina sebagai perusahaan minyak nasional, itu harus diperkuat lagi. Jangan diperlakukan sama dengan yang lain. Harus ada keberpihakan pemerintah terhadap NOC-nya (National Oil Company) supaya Pertamina lebih berjaya," ujar Ketua Komisi VII Ketua Komisi VII DPR Teuku Riefky Harsya saat dihubungi detikFinance, Rabu (8/4/2010).
Teuku mencontohkan, keberpihakan pemerintah terhadap Pertamina dapat dilakukan dengan memberikan prioritas kepada Pertamina untuk mengambil peran dalam pengelolaan blok migas yang akan memperpanjang masa kontraknya atau yang sudah dikembalikan ke pemerintah.
"Menurut saya ini harus dimasukan dalam revisi UU Migas," kata dia.
Selain itu, pasal lain yang akan direvisi dalam UU Migas yaitu pasal 22 ayat 1, pasal 28 ayat 2 dan 3, serta pasal 12 ayat 1. Ketiga pasal merupakan pasal-pasal yang harus dimandemen sesuai putusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2004 lalu.
Dalam pasal 22 ayat 1 berbunyi: Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Menurut Teuku, besaran maksimum DMO (Domestic Market Obligation) sebesar 25% tersebut perlu dievaluasi kembali. Apalagi menurut keputusan MK, pasal ini dinilai tidak menganut prinsip sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat seperti yang digariskan pasal 33 UUD 1945.
"Namun berapa perubahannya masih kami bahas. Ini perlu perhitungan yang teliti karena jangan sampai revisi ini mengganggu iklim investasi," katanya.
Sementara untuk pasal 28 ayat 2 yang berbunyi: Harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar.
Pasal 28 ayat 3 menyebutkan: Pelaksanaan kebijaksanaan harga sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 tidak mengurangi tanggung jawab sosial pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu.
Teuku menyarankan adanya peranan pemerintah dan DPR untuk ikut serta dalam penentuan harga dan tidak menyerahkan sepenuhnya ke mekanisme pasar. "Karena kalau dilepas ke pasar ini akan berbahaya," ungkapnya.
Sementara bunyi pasal 12 ayat 3 yang memberi wewenang kepada badan usaha atau bentuk usaha tetap untuk melakukan kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi pada Wilayah Kerja, dinilai Teuku menghilangkan penguasaan negara.
Selain ketiga pasal tersebut, dalam revisi UU Migas ini DPR juga akan mengevaluasi status Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) karena dikhawatirkan adanya tumpang tindih antara 2 lembaga tersebut dengan unit-unit kerja yang ada di Kementerian ESDM.
"Kan di ESDM ada Direktur Hulu dan Hilir Migas, kami akan lihat apakah ini tumpang tindih? Jadi nantinya keberadaan kedua lembaga ini bisa saja diperkuat dengan mengganti statusnya dari BHMN (Badan Hukum Milik Negara) menjadi BUMN atau bisa saja dihilangkan," paparnya.
Teuku mengungkapkan, rencananya pembahasan revisi UU Migas ini akan dimulai pada masa sidang ini. Selain membahas dengan pemerintah, DPR juga akan melibatkan para stakeholder di sektor Migas untuk memberikan masukkan.
"Sementara, saat ini draf inisiatif dari DPR untuk revisi UU itu sedang disusun," ungkapnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Kementerian ESDM, Evita Herawati Legowo menyatakan saat ini pemerintah menyiapkan bahan-bahan untuk revisi UU Migas No22/2001, meskipun pihaknya menilai revisi terhadap UU ini masih belum perlu dilakukan.
"Revisi UU Migas bukan usulan. Itu hasil keputusan angket. Kita siapkan bahan, DPR juga siapkan bahan," ujar Evita.(epi/dnl)
sumber: www.detik.com