Rabu, 07 April 2010]
Ditjen Perlindungan HAM memfasilitasi pertemuan korban dengan Komisi III DPR. Diharapkan Juni draf RUU KKR sudah masuk ke DPR.
Direktorat Perlindungan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan HAM memfasilitasi pertemuan korban pelanggaran HAM berat dengan Komisi Hukum DPR. Pertemuan berlangsung di salah satu hotel di Jakarta, Selasa (06/4) kemarin, dan dibuka Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar.
Pertemuan ini masih berkaitan dengan upaya Pemerintah menyusun Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR). Seperti diketahui, Pemerintah tengah menyusun RUU tersebut sebagai pengganti UU KKR yang pernah dinyatakan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan UUD 1945. Wet ini dimaksudkan sebagai payung hukum penyelesaian dugaan pelanggaran HAM masa lalu sekaligus mewujudkan rekonsiliasi antara pelaku dan korban. Afrika Selatan adalah salah satu negara yang berhasil melaksanakan model pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi tersebut.
Dirjen Perlindungan HAM, Harkristuti Harkrisnowo menegaskan pertemuan Selasa kemarin merupakan pertemuan terakhir yang difasilitasi Ditjen Perlindungan HAM mengenai RUU KKR. Selanjutnya, draft yang sudah mengakomodir suara korban itu diserahkan ke Ditjen Peraturan Perundang-Undangan dalam rangka harmonisasi. Tuti, begitu Harksrituti biasa disapa, berharap naskah RUU sudah masuk DPR pada Juli mendatang. Pembahasan berikutnya ada di tangan DPR. “Tergantung Komisi III, mau berapa lama,” ujarnya.
Ketua Umum Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru, Utomo menaruh harapan besar pada RUU KKR. Dia berharap dengan adanya UU ini, tuntutan para korban dapat segera dipenuhi. Misalnya rehabilitasi, kompensasi, penghapusan diskriminasi dan pencabutan berbagai peraturan perundang-undangan yang mendiskriminasi. “Sampai sekarang ini kami masih merasa didiskriminasi,” tandasnya.
Utomo berharap proses pembahasan di Senayan tidak memakan waktu lama. Pasalnya, untuk korban 65, sudah banyak korban yang meninggal. Korban yang masih hidup pun sudah berusia lanjut. “Kami sudah hampir habis,” tukasnya.
Anggota Komisi III DPR, Didi Irawadi Syamsudin berjanji akan mengusahakan pembahasan RUU KKR sesegera mungkin. Dia menargetkan, RUU KKR harus sudah menjadi UU tahun ini. “Saya pribadi usaha yang terbaik, karena kasihan hak mereka(korban-red),” kata politisi Partai Demokrat itu.
Ke depan, memungkinkan untuk memanggil lagi pihak-pihak terkait untu memberi masukan ke DPR. “Supaya menghasikan UU KKR yang adil,” sambung Didi.
Jangan Sampai Dicabut Lagi
Harkristuti mengaku, pembuatan naskah RUU KKR ini dilakukan dengan hati-hati. “Kami menyusun kembali dengan harapan MK tidak membatalkan lagi,” ungkapnya.
Sekadar mengingatkan, Indonesia pernah memiliki UU KKR sebelumnya, yaitu UU No. 27 Tahun 2004. MK membatalkan keseluruhan UU tersebut sebagai jawaban atas permohonan sejumlah pihak yang mengajukan pembatalan pasal Pasal 27, Pasal 44, dan Pasal 1 angka (9) UU KKR.
Dalam RUU kali ini, tidak dimuat mengenai kewajiban korban mengabulkan amnesti untuk mendapatkan kompensasi dan rehabilitasi. “Karena kan dulu yang sebenarnya yang minta dicabut kan tentang amnesti.” kata Harkristuti.
Koordinator Kontras Usman Hamid juga berharap RUU KKR – jika sudah disahkan-- tidak akan bernasib sama dengan UU No. 27 Tahun 2004. Dia melihat ada kemajuan di dalam naskah RUU KKR. “Sebenarnya kalau dibandingkan dengan yang lalu memang tidak ada batasan politik bagi proses pengungkapan kebenaran dan pemulihan haknya korban lewat rekonsiliasi,” terangnya.
Pembatasan itu dulu tercermin lewat pasal 27 UU No. 27 Tahun 2004. Sehingga tidak memungkinkan bagi korban untuk mendapatkan pemulihan haknya tanpa memberikan pengampunan.
Tidak harus menunggu UU
Usman Hamid berpendapat sebenarnya Pemerintah bisa melakukan suatu tindakan untuk mengembalikan hak korban sambil menunggu proses RUU selesai. Apalagi, kosntelasi politik yang sedang terjadi bisa berdampak berlarut-larutnya proses pembahasan suatu undang-undang. “Keputusan untuk merehabilitasi atau memulihkan hak korban itu bisa dilakukan dalam waktu yang pendek yang efisien,” ujarnya.
Pemulihan hak korban bisa dilakukan dengan membentuk Badan Pemulihan Hak Korban yang dibentuk di bawah presiden., yang bertugas untuk merumuskan kebijakan pemulihan dan pemenuhan hak korban.
Selain itu, pemerintah bisa melakukan tindakan kepada warga negara Indonesia di luar negeri yang tidak bisa pulang ke Indonesia pasca kejadian 65. Menurut salah satu korban pelanggaran HAM, Ilyas, terdapat ribuat orang yang tertahan di luar negeri yang paspornya dicabut. Mereka tidak bisa pulang ke Tanah Air karena mereka pendukung Soekarno. Menurut Ilyas, pemerintah seharusnya mengeluarkan Keputusan Presiden (Kepres) yang berisi pengakuan kepada warga negara Indonesia yang berada di luar negeri, sekaligus memberekan masalah paspor mereka.(DNY)
Sumber: www.hukumonline.com