Jakarta, MK Online - Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2007 tentang Pengadilan Anak (UU Pengadilan Anak) melanggar empat asas dalam penanganan anak, yakni asas perlindungan, asas kepentingan terbaik untuk anak, asas kelangsungan hidup anak, dan asas tumbuh kembang anak. Oleh karena itu, UU Pengadilan Anak bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2), Pasal 28D ayat (1) serta Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Hal ini disampaikan oleh Surastini Fitriasih yang bertindak sebagai Ahli Pemohon terhadap Pengujian UU Pengadilan Anak, Rabu (7/4), di Gedung MK.
Surastini juga menjelaskan bahwa Pasal 1 angka 2 huruf b terdapat pelakuan berbeda antara orang deawasa dan anak yang justru memberatkan anak. “Hal ini bisa ditafsirkan bahwa pasal a quo juga bertentangan dengan asas legalitas yang tercantum dalam pasal 1 ayat (1) KUHP. Anak justru tidak mendapat kepastian hukum dan perlakuan hukum yang sama,” jelasnya.
Sedangkan mengenai Pasal 5 ayat 1, Surastini menjelaskan bahwa memproses seorang anak berusia 8 tahun merupakan ketentuan yang tidak sejalan dengan kepentingan terbaik untuk anak. “Proses yang harus dijalani seorang anak yang terpidana di pengadilan pidana dapat mempengaruhi psikologis anak. Belum lagi stigma negatif yang melekat di masyarakat mengenai peradilan pidana walaupun hanya dalam proses penyidikan,” jelasnya.
Mengenai penjatuhan pidana terhadap anak yang terkena pidana atau anak nakal, Surastini menganggap hukuman berupa pidana bagi anak bukanlah sesuatu yang tepat. Mengingat sifat anak, jelas Surastini, maka seharusnya hukuman yang dijatuhkan harus bersifat membantu serta menolong agar anak nakal yang bersangkutan dapat lebih baik di masa depan. “Harusnya sanksi pidana yang paling tepat digunakan. Anak harus punya kesempatan untuk tumbuh dan berkembang. Anak juga masih berhak memperoleh pendidikan yang normal dalam situasi yang normal dan dekat dengan orangtuanya,” paparnya.
Selain itu, Surastini juga membahas mengenai batasan usia 8 tahun seperti yang tercantum dalam Pasal 4 ayat 1. Menurut Surastini, batasan usia 8 tahun terlalu rendah untuk meminta pertanggungjawaban pidana bagi anak karena seharusnya anak yang berusia 8 tahun masih membutuhkan perlindungan seperti yang tercantum dalam Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28 D ayat (1). “Jika dibandingkan dengan negara lain batasan usia 8 tahun terlalu rendah. Di negara lain, batasan usia rata-rata adalah 12 tahun, bahkan ada yang lebih antara 15–16 tahun,” paparnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Ahli Pemohon lainnya, yakni Fentini Nugroho. Fentini menilai ketentuan anak dapat dipidana antara batas usia 8–18 tahun justru merupakan usia rawan. Hal tersebut karena usia tersebut merupakan puncak tumbuh kembang anak secara maksimal sebagai manusia Indonesia yang utuh. “Jika lingkungannya tidak mendukung, maka di masa depan anak akan tumbuh menjadi manusia yang merasa tidak mampu dan rendah diri,” ujarnya.
Fentini berharap agar UU Pengadilan Anak bisa selaras dengan arah perlindungan anak dewasa ini. Menurut Fentini, saat ini telah terjadi pergeseran paradigma mengenai pemberian hukuman bagi anak, yakni anak nakal ditempatkan di panti atau dikembalikan pada keluarga. “Pilihan tersebut justru menjadi pilihan terakhir dewasa ini dalam Pengadilan Anak. Pemilihan hukuman dimasukkan ke dalam Lembaga Pemasyarakatan bagi anak agak menyimpang dengan paradigma perlindungan anak dewasa ini,” ungkapnya.
Pemohon dalam perkara yang tergistrasi No.1/PUU-VIII/2010 ini mendalilkan enam pasal dalam UU Pengadilan Anak, yakni Pasal 1 ayat (2), Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 22, Pasal 23 ayat (2) huruf a, dan Pasal 31 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945. Pemohon merasa hak konstitusional Pemohon yang dijamin dalam Pasal 28B ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (1) telah dilanggar dengan adanya beberapa pasal tersebut. (Lulu Anjarsari)