Jakarta, MK Online - Setelah sejumlah akademisi konsultasi ke Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai UU No.9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP), para anggota Komisi X DPR juga mendatangi MK pada Rabu (7/4) siang, meminta penjelasan terkait putusan MK mengenai UU BHP tersebut. Pertemuan itu berlangsung tertutup dan berlanjut dengan acara konferensi pers.
“Kami meminta penjelasan dari MK dalam rangka mengisi kekosongan hukum dengan dibatalkannya UU BHP, untuk mengelola pendidikan jangka pendek maupun jangka panjang. Kira-kira mana yang dianggap bertentangan dan mana yang tidak bertentangan dengan UUD 1945,” ungkap Rully Chairul Azwar yang menjadi juru bicara anggota Komisi X DPR.
Dari dialog antara Ketua MK Mahfud MD, beberapa hakim konstitusi dengan para anggota Komisi X DPR, diperoleh sejumlah hasil pembicaraan dari berbagai aspek, baik secara filosofis, sosiologis, hukum dan lainnya. Secara filosofis, UU BHP dianggap terlalu memaksakan penyeragaman bentuk pengelolaan pendidikan, serta tidak memberikan hak lebih luas kepada masyarakat untuk mengelola pendidikan.
“Bahkan terkesan terlalu memaksakan kehendak pada kelompok masyarakat yang melakukan usaha-usaha yang sebetulnya belum siap dengan BHP. Persoalan ini justru dianggap lebih komersialisasi,” kata Rully.
Kemudian dari aspek sosiologis, lanjut Rully, faktanya banyak orang yang melakukan gugatan terhadap BHP. Sedangkan dari fakta hukum, yang paling mendasar adalah Penjelasan Pasal 53 UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang terkait dengan “Penyelenggaraan sekolah atau institusi pendidikan harus memiliki Badan Hukum Pendidikan, dalam pengertian ‘nama’”
“Kalau itu generik, tidak apa-apa. Jadi, Pasal 53 UU Sisdiknas tidak perlu dicabut dan masih dipakai. Yang dicabut adalah Penjelasan dari Pasal 53 UU Sisdiknas,” imbuh Rully lagi.
Lebih lanjut Rully mengatakan, dengan bergulirnya putusan MK yang menyatakan UU BHP inkonstitusional, maka Komisi X DPR siap mengambil langkah-langkah ke depan dan memiliki rambu-rambu. Yang penting, jelas Rully, tidak ada penyeragaman dan pembatasan hak-hak masyarakat untuk ikut mengelola pendidikan.
“Selain itu, jangan menimbulkan konflik dari hak asasi manusia yang intinya bahwa pemerintah harus menyediakan pendidikan bagi masyarakat. Karena pendidikan merupakan tanggungjawab dari pemerintah, termasuk masyarakat juga ikut bertanggungjawab,” tegas Rully.
Oleh sebab itu, sambung Rully, ada langkah-langkah jangka pendek yang dapat dilakukan Komisi X DPR adalah tetap mengacu pada UU Sisdiknas namun dengan mempertahankan hal-hal apa saja yang dianggap bertentangan dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip UUD 1945.
“Sedangkan untuk jangka panjang, berdasar Pasal 53 Ayat (4) UU Sisdiknas, tetap harus ada yang namanya Badan Hukum Pendidikan. Jadi, untuk jangka panjangnya, kami tetap akan mengajukan lagi undang-undang yang namanya bisa saja badan hukum pendidikan dalam huruf kecil, tapi isinya berbeda dengan UU BHP yang sekarang dibatalkan,” tandas Rully. (Nano Tresna A.)