Monday, 5 April 2010
UJIAN UNDIP: Ribuan calon mahasiswa mengikuti Ujian Mandiri I Universitas Diponegoro di Jakarta, kemarin. Pascapembatalan UU BHP diharapkan biaya pendidikan lebih terjangkau masyarakat.
JAKARTA (SI) – Pembatalan Undang-Undang No 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) belum menjamin biaya pendidikan di perguruan tinggi akan semakin terjangkau masyarakat.
Pendidikan tinggi dinilai akan tetap menjadi barang yang komersial karena ketentuan di Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) mengondisikan demikian. Pengamat pendidikan Universitas Indonesia (UI) Hanif Saha Ghafur mengatakan, komersialisasi pendidikan telah dimasukkan dalam rencana strategis (renstra) Kemendiknas yang dibuat dengan struktur organisasi bisnis.“Renstra Kemendiknas dibuat untuk mencari profit dan tergantung dengan kebutuhan pasar,”ujar Hanif. Mengenai biaya pendidikan setelah UU BHP ini dihapus, Hanif menyatakan bahwa pemerintah harus tegas apakah status perguruan tinggi akan menjadi Badan Layanan Umum (BLU) ataukah masih Badan Hukum Milik Negara (BHMN).
Kejelasan ini penting karena selain untuk mencari dana, perguruan tinggi dirancang untuk menjadi institusi pendidikan nonprofit. Namun, lanjut Hanif, sebagai badan pelayan publik, perguruan tinggi tetap tidak boleh merugi.Dilemanya, perguruan tinggi sulit mendapatkan anggaran untuk meningkatkan mutu layanan sehingga banyak yang memungut dana lebih tinggi dari mahasiswanya. Hanif setuju jika Kemendiknas ingin membuat UU BHP yang baru. Namun UU yang baru tersebut tidak boleh mengandung komersialisasi pendidikan. Dia mengakui UU BHP yang dibatalkan MK mengandung tekanan bagi perguruan tinggi atau institusi pendidikan lain untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi dari masyarakat.
“Inilah yang membuat UU BHP sangat mendewakan komersialisasi pendidikan,”tandas Hanif. Sementara itu,langkah Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh untuk mencari peraturan baru pengganti UU BHP dinilai tidak konstitusional. Pakar hukum tata negara UI Budi Dharmono menilai, adalah suatu bentuk pelanggaran hukum jika Mendiknas tetap mencari peraturan pengganti UU BHP yang sudah dibatalkan MK pada Rabu lalu (31/3). Menurut Budi, jika suatu ketentuan telah ditolak lembaga yang dipimpin Moh Mahfud M tersebut, itu berarti harus kembali pada ketentuan lama. Dengan demikian, tidak ada kevakuman hukum dan bukan mencari peraturan pengganti seperti peraturan menteri (permen) atau peraturan pemerintah (PP).
“Kemendiknas tidak bisa begitu. Itu tidak sesuai dengan landasan hukum,” tegas Budi. Dia menyatakan, pencarian peraturan pengganti ini menandakan lembaga eksekutif selalu mengandalkan segala cara untuk meloloskan peraturan yang hanya menguntungkan pemerintah tanpa mementingkan pendapat legislatif. Mengenai pembatalan UU BHP yang dilakukan MK,Budi mengatakan, fungsi MK adalah penjaga UUD 1945.Jika memang pengadilan di tingkat MK telah menolak suatu undang-undang, bisa dipastikan ada indikasi penyimpangan dalam peraturan tersebut.“Dan MK memiliki wewenang tertinggi mencabut jika ada perundangan yang tidak sesuai dengan UUD 1945,” tandasnya.
Sebelumnya, Mendiknas Mohammad Nuh mengaku akan mencari peraturan pengganti yang bisa dijadikan dasar hukum penerapan BHP.Menurut dia,peraturan pengganti itu merupakan salah satu solusi yang ditawarkan pemerintah agar tidak ada kevakuman hukum. Ketua Komisi X DPR Mahyuddin menilai Kemendiknas bisa melanggar hukum jika nekat mengeluarkan peraturan pengganti.“Tidak boleh jika MK menyebut bahwa UU BHP itu pelanggaran secara keseluruhan.Lain lagi jika MK menyebut hanya sebagian isi dari UU BHP itu yang menyimpang,itu masih bisa dicari peraturan penggantinya,” paparnya. Politikus Partai Demokrat itu mengatakan,Komisi X DPR akan memanggil Mendiknas untuk membahas persoalan BHP ini.
Secara pribadi,Mahyudin berpendapat, UU BHP memang tidak sesuai dengan UUD 1945. Sebab, menurut dia, pembiayaan dan pengelolaan pendidikan merupakan tanggung jawab pemerintah, bukan pihak swasta seperti yang tercantum dalam UU BHP. Hal yang sama diungkapkan anggota Komisi X DPR Dedi Suwandi Gumelar.Menurut dia, jika memang tidak ingin ada kekosongan hukum, Mendiknas tidak dibenarkan untuk memutuskan sendiri. Harus ada pembicaraan secara mendalam dengan MK sebagai pihak yang mencabut UU BHP serta DPR. Sementara itu,Wakil Menteri Pendidikan Nasional (Wamendiknas) Fasli Jalal menyatakan, hari ini,Senin (5/4),para pemimpin perguruan tinggi dan pejabat eselon I Kemendiknas akan dikumpulkan untuk membahas persoalan UU BHP.
Fasli menjelaskan,peraturan pengganti tetap harus dicari. Sebab,dalam UU Sisdiknas ada pasal yang memberikan tanggung jawab kepada pemerintah untuk mencari peraturan turunan tentang badan hukum perguruan tinggi. MK melalui amar putusan bernomor 11-14-21-126 dan 136/PUUVII/ 2009 menyatakan,UU No 9/2009 tentang BHP inkonstitusional. (neneng zubaidah)
Sumber: www.seputar-indonesia.com