Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian mengenai pengujian undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Demikian amar putusan perkara Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 yang dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD, Rabu (31/3), di Gedung MK.
Mengenai Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas dan Penjelasannya yang menyatakan secara tegas, "Badan hukum pendidikan dimaksudkan sebagai landasan hukum bagi penyelenggara dan/atau satuan pendidikan, antara lain, berbentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN)", Hakim Konstitusi Harjono mengatakan MK berpendapat pasal a quo tidak ada yang menunjukkan hilangnya kewajiban negara terhadap warga negara di bidang pendidikan, tidak mempersulit akses pendidikan, tidak menjadikan biaya pendidikan mahal, tidak mengubah paradigma pendidikan, sehingga hak warga negara untuk memperoleh pendidikan terhalang, tidak menjadikan pendidikan sebagai barang privat (private goods). Akan tetapi, lanjut Harjono, MK berpendapat istilah "badan hukum pendidikan" sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas bukanlah nama dan bentuk badan hukum tertentu, melainkan sebutan dari fungsi penyelenggara pendidikan yang berarti bahwa suatu lembaga pendidikan harus dikelola oleh suatu badan hukum. Adapun bentuk badan hukum itu dapat bermacam-macam sesuai dengan bentuk-bentuk yang dikenal dalam peraturan perundang-undangan, misalnya yayasan, perkumpulan, perserikatan, badan wakaf, dan sebagainya.
Oleh sebab itu, dalam amar putusan, Ketua MK Moh. Mahfud MD mengungkapkan Penjelasan Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas menjadi tidak diperlukan karena Penjelasan Pasal a quo mempersempit arti badan hukum pendidikan dan bertentangan dengan maksud pasal a quo. "Menurut MK, dalil para Pemohon beralasan menurut hukum sepanjang pengertian badan hukum pendidikan dalam Pasal 53 ayat (1) a quo tidak diartikan sebagai nama dan bentuk badan hukum tertentu, melainkan sebutan dari fungsi penyelenggara pendidikan yang berarti bahwa suatu lembaga pendidikan harus dikelola oleh suatu badan hukum (konstitusional bersyarat)," tandasnya. Sementara itu berkaitan dengan aturan pembiayaan pendidikan, Hakim konstitusi Hamdan Zoelva menjelaskan Pasal 6 ayat (2) menentukan, "Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan". Menurut Hamdan, para Pemohon mendalilkan bahwa hak konstitusional para Pemohon adalah mendapatkan pendidikan, mendapatkan pembiayaan dari pemerintah, dan karenanya pemerintah harus menyediakan seluruh kebutuhan pendidikan. Menurut MK, lanjut Hamdan, UUD 1945 telah menempatkan pendidikan sebagai salah satu hak asasi manusia, dan sebagai hak asasi maka negara terutama pemerintah bertanggung jawab dalam perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhannya. Dalam rangka itu, berdasarkan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
"Hal ini berarti anggaran pendidikan menduduki prioritas utama dari negara yang setiap peningkatannya disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara, sehingga dalil Pemohon tersebut hanya akan tepat manakala keuangan negara sudah mencapai tahap yang memungkinkan untuk menanggung seluruh kebutuhan penyelenggaraan pendidikan," jelasnya.
Kemudian Hamdan juga menuturkan bahwa kualitas setiap warga negara akan sangat menentukan kualitas bangsa, maka negara tidak boleh berpangku tangan dengan menyerahkan sepenuhnya pengembangan kualitas diri atau kecerdasan kehidupan warganya kepada setiap warga negaranya, sebab kalau hal ini terjadi maka tiap-tiap warga negara akan menggunakan kebebasannya memilih untuk menempuh pendidikan atau sebaliknya tidak menempuh pendidikan sama sekali. Di sinilah peran dan tanggung jawab pemerintah dan warga negara menjadi sangat penting. Artinya, negara memiliki tanggung jawab utama sedangkan masyarakat juga ikut serta dalam memikul tanggung jawab itu. "Oleh karena itu, maka Pasal 6 ayat (2) tetap konstitusional sepanjang dimaknai setiap warga negara "ikut bertanggung jawab" terhadap keberlangsungan pendidikan," ungkapnya. Sementara itu, mengenai Pasal 12 ayat (1) huruf c sepanjang frasa, "...yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya", MK berpendapat mencerdaskan kehidupan bangsa tidaklah identik dengan ditanggungnya seluruh biaya pendidikan oleh negara dengan menolak peran serta dan kepedulian masyarakat atas pendidikan. "Oleh karena itu, dalam memaknai tanggung jawab negara atas pendidikan tidaklah berarti menolak peran serta dan sumbangsih masyarakat demi pemajuan dan kemajuan bidang pendidikan," jelasnya.
Sepanjang pikiran dan argumentasi para Pemohon bahwa frasa "yang orang tuanya tidak mampu" telah membuat pembedaan di antara peserta didik yang ada di tiap satuan pendidikan. MK, jelas Hamdan, tidak sependapat kalau yang menjadi dasar pemberian beasiswa adalah yang berprestasi saja, begitu juga pemberian beasiswa haruslah tidak didasarkan pada mampu dan tidak mampu. "Hal ini karena bagi peserta didik yang orang tuanya tidak mampu sudah diatur dalam Pasal 12 ayat (1) huruf d sehingga frasa, "yang orang tuanya tidak mampu" menjadi tidak relevan dan bias dengan pengaturan dalam huruf d pasal a quo," papar Hamdan.
Sedangkan, mengenai penggunaan istilah formal, informal dan nonformal dalam Pendidikan Usia Dini yang tercantum dalam UU Sisdiknas pada Pasal 6 ayat (1), Pasal 28 ayat (2) dan ayat (6) serta pasal 42 ayat (2), Mahfud menyatakan pasal a quo tidak bertentangan dengan UUD 1945. (Lulu Anjarsari)