Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) untuk sebagian. Demikian amar putusan Nomor 147/PUU-VII/2009 yang dibacakan Ketua MK Moh. Mahfud MD, Selasa (30/3), di Gedung MK. Perkara ini diajukan oleh Bupati Jembrana I Gede Winasa beserta 20 kepala dusun di Jembrana, Bali.
Mahfud menegaskan bahwa Pasal 88 UU Pemda konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) terhadap Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Hal ini, lanjut Mahfud, menyebabkan kata "mencoblos" dalam Pasal 88 UU Pemda diartikan pula menggunakan metode e-voting dengan beberapa syarat kumulatif di antaranya tidak melanggar asas LUBER (Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia) dan Jurdil (Jujur dan Adil). "Tak hanya itu, daerah yang menerapkan metode e-voting sudah siap dari sisi teknologi, pembiayaan, sumber daya manusia maupun perangkat lunaknya, kesiapan masyarakat di daerah yang bersangkutan, serta persyaratan lain yang diperlukan," jelas Mahfud.
Dalam konklusi, Mahfud menyampaikan bahwa permohonan Pemohon beralasan hukum. Jika isi Pasal 88 UU 32/2004 mengenai tata cara pemberian suara hanya diartikan dengan cara mencoblos salah satu pasangan calon dalam surat suara dan tidak bisa melalui metode lainnya termasuk e-voting, maka Pasal a quo tidak sejalan dengan Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. "Hal ini karena para Pemohon terhalang haknya untuk memperoleh manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya," ujar Mahfud.
Wakil Ketua MK Ahmad Sodiki mengungkapkan bahwa MK berpendapat pemberian suara yang dilakukan dengan cara mencentang salah satu calon sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas Pemilu yang luber dan jurdil tidak mengurangi keabsahan Pemilu karena masih dalam batas-batas yang wajar. Demikian juga cara lain, misalnya e-voting, adalah konstitusional sepanjang tidak melanggar asas Pemilu yang luber dan jurdil. "Meskipun demikian, penggunaan cara e-voting harus berdasarkan pertimbangan objektif, yakni kesiapan penyelenggara pemilu dan masyarakat, sumber dana dan teknologi, serta pihak terkait lain yang benar-benar harus dipersiapkan dengan matang," ujarnya.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, jelas Sodiki, maka dalil-dalil para Pemohon beralasan menurut hukum. Akan tetapi jika Pasal 88 Undang-Undang a quo dibatalkan, maka tidak ada lagi landasan hukum tentang cara pemberian suara untuk pemilihan kepala daerah sehingga dapat menimbulkan kekosongan hukum. "Oleh sebab itu, sambil menunggu pembentuk Undang-Undang mengakomodasi cara-cara di luar pencoblosan dan pencentangan, maka MK perlu memberi penafsiran yang lebih luas atas Pasal 88 Undang-Undang a quo agar pelaksanaannya tidak bertentangan dengan UUD 1945," tukasnya. (Lulu Anjarsari)