Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar persidangan terhadap Pengujian Undang-Undang (UU) Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dan UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHP, Senin (29/3), di Gedung MK.
Pemohon melalui kuasa hukumnya M. Farhat Abbas dan Rachmat Jaya mendalilkan tiga norma dari tiga UU yang dimohonkan untuk diuji, yakni Pasal 24 ayat (2) UU No. 48/2009, Pasal 66 ayat (1) UU No. 14/1985 juncto UU No. 3/2009, dan Pasal 268 ayat (3) UU no. 8/1981 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Rachmat mengungkapkan bahwa pasal-pasal tersebut tidak memiliki kejelasan, ketelitian, dan konsistensi dalam proses kepastian hukum. Fakta hukum di lapangan banyak membuktikan bahwa proses pengajuan Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA) lebih dari satu kali. "Bahkan ada yang sampai empat kali mengajukan permohonan Peninjauan kembali seperti PK No. 88 PK/PDT-SUS/2009 yang diketuai Majelis Hakim Agung Hatta Ali (Ketua Muda Pengawasan MA red.). Hal ini menyalahi prinsip negara hukum yang hidup dalam doktrin-doktrin hukum," jelas Rachmat dalam perkara Nomor 16/PUU-VIII/2010 ini.
Menurut Rachmat, fakta hukum terhadap pengajuan PK lebih dari satu kali telah dieleminir secara tidak konsisten oleh surat edaran Ketua MA No. 10 tahun 2009 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali. Surat edaran tersebut memberi petunjuk sebagai berikut:
· Permohonan Peninjauan kembali dalam suatu perkara yang sama yang diajukan lebih dari 1 (satu) kali baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana bertentangan dengan Undang-Undang, Oleh karena itu apabila suatu perkara diajukan permohonan Peninjauan Kembali yang kedua dan seterusnya, maka Ketua Pengadilan Tingkat Pertama dangan mengacu secara analog kepada ketentuan Pasal 45 A Undang-Undang Mahkamah Agung ( Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang nomor 5 tahun 2004 dan terakhir dengan Undang - Undang Nomor 3 tahun 2009 ), agar dengan Penetapan Ketua Pengadilan Tingkat Pertama, permohonan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima dan berkas perkaranya tidak perlu dikirim ke Mahkamah Agung;
· Apabila suatu obyek perkara terdapat 2 (dua) atau lebih putusan peninjauan kembali yang bertentangan satu dengan yang lain baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana dan diantaranya ada yang diajukan permohonan peninjauan kembali agar permohonan peninjauan kembali tersebut diterima dan berkas perkaranya tetap dikirimkan ke Mahkamah Agung. Poin kedua dari Surat Edaran Ketua MA tersebut, jelas Rachmat, memperlihatkan ketidakkonsistenan karena masih memperbolehkan pengajuan permohonan peninjauan kembali lebih dari dua kali. "Harusnya untuk menjunjung tinggi hukum dan rasa keadilan proses peninjauan kembali hanya boleh lebih dari satu kali demi keadilan dan kepastian hukum serta merupakan putusan Peninjauan Kembali yang terakhir yang dijadikan patokan bukan malah memperbolehkan atau membuka kembali pengajuan peninjauan kembali untuk yang kedua, ketiga dan seterusnya," ujarnya.
Ketua Majelis Hakim Panel Hamdan Zoelva mempertanyakan kedudukan hukum (legal standing) yang dianggapnya kabur. "Siapa yang dirugikan hak konstitusionalnya oleh berlakunya UU a quo? Pemohon sebagai perseorangan atau PT (Perseroan Terbatas)? Pemohon harus tegas," jelasnya.
Sementara Hakim konstitusi Harjono memberikan saran agar Pemohon lebih mempertajam alasan pengajuan permohonan. "Pemohon perlu mempertajam alasan hak konstitusional Pemohon yang terlanggar dengan berlakunya Pasal 24 ayat (2) UU No. 48/2009, Pasal 66 ayat (1) UU No. 14/1985 juncto UU No. 3/2009, dan Pasal 268 ayat (3) UU no. 8/1981. Selain itu, Pemohon harus juga menjelaskan mengenai persoalan pengajuan peninjauan satu kali yang bertentangan dengan UU kekuasaan Kehakiman," tukasnya. (Lulu Anjarsari)