Kedua, Pemohon Perkara Nomor 17/PUU-VII/2009 oleh Koalisi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan Dan Demokrasi (KPI), Yayasan Anand Ashram, Gerakan Integrasi Nasional, Persekutuan Geraja-Gereja Di Indonesia (PGI), Perkumpulan Lembaga Studi Dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Mariana Amiruddin, Thomas Aquino Wreddya Hayunta, Thomas Aquino Wreddya Hayunta, Butet Kartaredjasa, Y. Ayu Utami, Lidia C. Noer, Happy Salma, Gomar Gultom, Marieta N.C. Sahertian, Pardamean Napitu (alias Aldo), Hartoyo, Sankar Adityas Cahyo, David, Galih Widardono Aji, Yuli Rustinawati, Triana Mulyaningtyas, Danil Sihi, Lily Sugianto, Sri Agustini, Irene Augustine Sigit, Mariani, Andreas N. DJ. Udang, dan Hemmy Joke Koapaha.
Sementara itu, Pemohon II lebih melihat UU Pornografi sebagai bukti kemunduran kualitas demokrasi, pelecehan terhadap prinsip hukum, dan pelanggaran prinsip kebhinekaan Indonesia.
Selain itu, semua Pemohon memandang UU Pornografi hanya akan tumpang-tindih dengan ketentuan dan peraturan-peraturan yang telah ada, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), UU 8/1992 tentang perfilman, Peraturan Pemerintah No. 7/1994 tentang Lembaga Sensor Film, UU 40/1999 tentang Pers, UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak, UU 32/2002 tentang penyiaran, dan UU No.11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Untuk menyokong UU yang sedang diujikan, Pemohon I mengajukan bukti P1-P3a, Pemohon II mengajukan 55 alat bukti (P1-P55), dan Pemohon III mengajukan 22 alat bukti tertulis (P1-P22).
Menanggapi permohonan dan argumentasi yang didalilkan Pemohon, pemerintah malah Selain itu apakah kerugian konstitusional para Pemohon dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang timbul dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji.
Setelah memeriksa, menguji, dan mendebatkan secara serius, Mahkamah melihat UU Pornografi dibentuk dalam rangka menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang bersumber pada ajaran agama dan memberikan ketentuan yang sejelas-jelasnya tentang batasan dan larangan yang harus dipatuhi oleh setiap warga negara serta menentukan jenis sanksi bagi yang melanggarnya.
"UU Pornografi melindungi setiap warga negara, khususnya perempuan, anak, dan generasi muda dari pengaruh buruk dan korban pornografi," tutur Ahmad Sodiki yang membacakan bab pendapat mahkamah.
Terhadap Pasal 1 angka 1, Mahkamah sependapat dengan keterangan ahli Pemerintah, Prof. Dr. Tjipta Lesmana dan Dr. Sumartono, yang menyatakan bahwa terdapat lima bidang yang tidak dapat dikategorikan sebagai pornografi, yaitu, seni, sastra, adat istiadat (custom), ilmu pengetahuan, dan olah raga. Jadi, menurut Mahkamah, sepanjang menyangkut seni, sastra, dan budaya dapat dikecualikan dari larangan menurut Undang-Undang ini asalkan tidak bertentangan dengan norma susila sesuai dengan tempat, waktu, dan lingkungan, serta tidak dimaksudkan untuk menimbulkan rangsangan seks (sexual excitement), sesuai dengan karakter seni, sastra, dan budaya itu sendiri.
Terhadap Pasal 4 Ayat (1), Mahkamah berpendapat pasal ini tidak melanggar hak konstitusional para Pemohon, sebab masyarakat seni tetap bisa berkreativitas sesuai pekerjaannya. Apabila masyarakat mempunyai pekerjaan sebagai pembuat patung ataupun barang-barang kesenian yang terindikasi "pornografi" dapat meneruskan pekerjaannya dan hasil seni dari pekerjaannya tersebut. Dengan demikian, tidak beralasan hukum apabila pasal-pasal UU Pornografi dianggap tidak menghormati identitas budaya dan hak masyarakat tradisional.
Terhadap Pasal 10 UU a quo, Mahkamah juga berpendapat pasal ini justru telah memberikan kepastian terhadap setiap orang maupun penegak hukum dalam memahami larangan dan batasan pornografi, yang selama ini belum jelas dan belum diatur.