Mahkamah Konstitusi (MK) telah memberi tafsir resmi terhadap kalimat “suatu komisi pemilihan umum” yang diatur dalam Pasal 22E Ayat (5) UUD 1945. Kalimat itu tidak merujuk kepada sebuah nama institusi, akan tetapi menunjuk pada fungsi penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
Dengan demikian, menurut Mahkamah, fungsi penyelenggaraan pemilu tidak hanya dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), akan tetapi termasuk juga lembaga pengawas pemilu dalam hal ini Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) serta Dewan Kehormatan yang mengawasi perilaku penyelenggara Pemilu. Semuanya menjadi satu kesatuan fungsi guna menjamin kemandirian penyelenggara pemilu.
Hal ini tercantum dalam putusan MK untuk perkara Nomor 11/PUU-VIII/2010 tentang uji materi UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum yang diajukan oleh Bawaslu yang dibacakan di sidang pleno, Kamis (18/3).
Keluarnya tafsir ini didahului adanya permohonan pengujian UU 22/2007 yang diajukan oleh Bawaslu yang mengemukakan bahwa ketentuan Pasal 93, Pasal 94 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 95 UU 22/2007 inkonstitusional karena mekanisme calon anggota pengawas Pemilu diusulkan oleh KPU dan ditetapkan oleh Bawaslu dianggap memandulkan independensi Bawaslu sebagai lembaga pengawas.
Oleh karenanya, menurut Mahkamah, mekanisme rekrutmen dalam ketentuan tersebut di samping akan mengakibatkan anggota-anggota pengawas pemilu menjadi tergantung pada KPU, sehingga kemandiriannya terganggu, juga sangat potensial mengakibatkan saling menghambat dalam penentuan anggota pengawas pemilu antara Bawaslu atau Panwaslu dengan KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota.
Ketentuan yang demikian, oleh Mahkamah, dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum serta mengganggu terselenggaranya pemilu secara periodik yang luber-jurdil sebagai bentuk pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diamanatkan oleh UUD 1945. Prosedur rekrutmen yang demikian tidak memenuhi sifat mandiri sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945, karena calon yang akan mengawasi justru diusulkan oleh lembaga yang akan diawasi.
Penyelenggaraan pemilihan umum tanpa pengawasan oleh lembaga independen akan mengancam prinsip-prinsip luber-jurdil dalam pelaksanaan pemilu. Maka, Mahkamah menyatakan pencalonan dan pengangkatan anggota Panwaslu cukup dilakukan oleh satu lembaga saja, yaitu Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) atau Panwaslu.
Meskipun Pasal 93, Pasal 94 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 95 UU 22/2007 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, namun Mahkamah tidak serta merta menyatakan pasal-pasal a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat supaya tidak menimbulkan kekosongan hukum (rechtsvacuum).
Oleh karena itu, Mahkamah menyatakan yang bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat hanya kata “Calon”, dan frasa “... diusulkan oleh KPU Provinsi kepada Bawaslu sebanyak 6 (enam) orang untuk selanjutnya ....” dalam Pasal 93; kata, “Calon” serta frasa “... diusulkan oleh KPU Kabupaten/Kota kepada Panwaslu Provinsi sebanyak 6 (enam) orang untuk selanjutnya ....” dalam Pasal 94 ayat (1) dan ayat (2); kata, “Calon” dan frasa, “... diusulkan oleh KPU Kabupaten/Kota kepada Panwaslu Kabupaten/Kota sebanyak 6 (enam) orang untuk selanjutnya ....” dalam Pasal 95 UU 22/2007, sehingga menjadi:
Pasal 93
Anggota Panwaslu Provinsi ditetapkan dengan keputusan Bawaslu sebanyak 3 (tiga) orang sebagai anggota Panwaslu Provinsi terpilih setelah melalui uji kelayakan dan kepatutan.
Pasal 94
(1) Anggota Panwaslu Kabupaten/Kota untuk Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, serta Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi dipilih sebanyak 3 (tiga) orang sebagai anggota Panwaslu Kabupaten/Kota setelah melalui uji kelayakan dan kepatutan dan ditetapkan dengan keputusan Bawaslu.
(2) Anggota Panwaslu Kabupaten/Kota untuk Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten/Kota dipilih sebanyak 3 (tiga) orang sebagai anggota Panwaslu Kabupaten/Kota setelah melalui uji kelayakan dan kepatutan dan ditetapkan dengan keputusan Bawaslu.
Pasal 95
Anggota Panwaslu Kecamatan dipilih sebanyak 3 (tiga) orang sebagai anggota Panwaslu Kecamatan dan ditetapkan dengan keputusan Panwaslu Kabupaten/Kota.
Terkait dengan 192 Panwaslu yang sudah dibentuk, Mahkamah berpendapat, demi kemanfaatan dan efektivitas dari pelaksanaan Pemilukada tahun 2010 yang tahapannya sudah dimulai serta terciptanya kondisi yang kondusif di daerah-daerah yang akan menyelenggarakan pemilukada, dan demi kepastian hukum yang adil serta terciptanya prinsip saling mengawasi dan mengimbangi agar Pemilukada berjalan sesuai dengan asas luber dan jurdil, maka 192 Panwas yang terdiri atas 7 Panwaslu Provinsi dan 185 Panwaslu Kabupaten/Kota harus dinyatakan sah dan dapat menjalankan tugas, fungsi, dan wewenang masing-masing sesuai undang-undang.
terhadap komposisi Dewan Kehormatan, Mahkamah berpendapat bahwa jumlah dan
komposisi Dewan Kehormatan merupakan wilayah kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) dari DPR dan Pemerintah, yang tidak bertentangan dengan UUD 1945, sehingga permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum dan harus ditolak.
Namun, pada masa yang akan datang untuk menjamin kemandirian dalam penyelenggaraan pemilihan umum yang luber dan jurdil oleh KPU dan Bawaslu, Mahkamah berpendapat, anggota Dewan Kehormatan harus diisi oleh anggota-anggota yang berasal dari KPU dan Bawaslu secara seimbang jumlahnya dan ditambah satu orang dari pihak luar yang independen. (Nur Rosihin)