JAKARTA, KOMPAS.com — Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan menolak untuk seluruhnya permohonan uji materi atas sejumlah pasal dalam UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Putusan dibacakan dalam sidang yang dipimpin oleh Mahfud MD dan berlangsung di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (25/3/2010) sore.
"Mahkamah berkesimpulan, dalil pemohon tidak berdasar dan (tidak) beralasan hukum. Oleh karena itu, Mahkamah memutuskan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," demikian Mahfud membacakan salah satu butir putusan.
Sejumlah pasal yang dimohonkan untuk diuji materi, di antaranya Pasal 1, Pasal 4 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 10, Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 23. Alasan yang diajukan pemohon, ketentuan pasal-pasal tersebut telah melanggar hak konstitusional para pekerja seni.
Pemohon mencontohkan, pekerja seni yang ada di wilayah Minahasa merasa terlanggar hak konstitusionalnya. Para pekerja seni itu memenuhi kebutuhan hidup dengan memperjualbelikan benda-benda seni yang secara eksplisit memuat ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan. Benda-benda seni yang dimaksud berupa lukisan, ukiran, pahatan, dan patung.
Mahkamah berpendapat, ketentuan Pasal 4 merumuskan secara limitatif tentang perbuatan yang dilarang. Ketentuan pasal ini dinilai tidak menimbulkan multitafsir karena yang dimaksud ketelanjangan adalah yang menunjukkan bentuk tubuh. "Oleh karena itu, hak konstitusional pemohon tidak terlanggar dengan berlakunya Pasal 4 UU Pornografi sepanjang yang dilakukan pemohon bertujuan untuk seni dan budaya," kata hakim konstitusi Akil Mochtar.
Mahkamah juga menilai, ketentuan pasal-pasal yang dimohonkan untuk uji materi tidak diskriminatif dan tidak melanggar ketentuan Undang-Undang Dasar.
Akan tetapi, putusan MK yang menyatakan menolak untuk seluruhnya permohonan para pemohon tidak diputuskan secara bulat. Salah satu hakim konstitusi, Maria Farida Indrati, menyatakan berbeda pendapat (dissenting opinion) dengan tujuh hakim lainnya.
Maria berpendapat, persoalan pornografi harus diatur secara tegas dan tanpa multitafsir. Persoalan pornografi, menurutnya, tidak bisa diatur seadanya.
KOMPAS.com Inggried Dwi Wedhaswary
Kamis, 25 Maret 2010 | 16:54 WIB