"Bapak-bapak, paman-paman, ibu-ibu semua
Saya minta maaf urun berkata-kata Saya heran kenapa dipandang enteng tebing curam kita ini
Tingginya 50 meter, sangat tinggi
Di bawahnya batu-batu besar, dalam kali
Kalau terjatuh, bakal patah-patah, gegar otak kanan dan kiri
Jadi kalau tidak dipagar, berbahaya sekali
Maaf ya, maaf, kalian yang mau cabut pagar ini
Kalau tidak rabun atau buta, ya gila
Tebing betapa curam
Jurang betapa dalam
Kok tak tampak kedua-duanya
Konsep jurang dan tebing tak masuk akal rupanya
Gara-gara katarak dan glaukoma menuju buta
Nah, tentang pagar yang memang sudah tua keadaannya
Mari kita gotong-royong menggantinya
Kita bikin yang kukuh untuk semua…" Demikian sebait puisi yang dibacakan Taufik Ismail dalam sidang pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU Penodaan Agama), Rabu (23/3), di Gedung MK. Taufik Ismail diundang oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai Ahli dalam perkara yang diregistrasi dengan Nomor 140/PUU-VII/2009.
Dalam keterangannya, Taufik membacakan puisi karyanya yang berjudul "Tebing Betapa Curam, Jurang Betapa Dalam, Tak Tampak Kedua-duanya". Tersirat dalam puisi tersebut bahwa Taufik ingin UU Penodaan Agama dipertahankan dengan cara diperbaiki atau diganti. "UU Penodaan Agama saya ibaratkan ‘kayu dari pagar tebing yang tinggi harus gotong-royong diganti’, bukan dicabut," jelasnya.
Taufik menjelaskan adanya pengajuan perkara pengujian UU Penodaan Agama diakibatkan dari euforia berlebihan pascareformasi. "Saya khawatir masih adanya euforia berlebihan mengenai kebebasan pascareformasi. Jangan sampai kebablasan," imbuhnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Rony Nitibaskara selaku Ahli dari pihak Pemerintah. Rony menjelaskan bahwa kebebasan perlu dibatasi untuk menjaga stabilitas negara. "Penafsiran dalam beragama harus dilindungi dan dapat dilakukan dengan bebas, tetapi bila penafsiran itu menimbulkan gejolak sosial, maka hal ini perlu dibatasi," jelasnya.
Sementara itu, sutradara kenamaan Indonesia, Garin Nugroho, mengungkapkan hal yang berbeda. Dalam keterangannya, Garin menginginkan agar UU Penodaan Agama dicabut dengan alasan UU a quo tidak mengemban agenda strategi budaya pluralisme. "UU Penodaan Agama kontradiktif dengan pluralisme yang berkembang di Indonesia," ungkapnya.
Menurut Garin, seharusnya sebuah UU dilihat dari tiga sisi sebelum diberlakukan, di antaranya sisi filosofis, yuridis, dan sosiologis. UU Penodaan Agama, lanjut Garin, secara filosofis justru memundurkan pluralisme yang merupakan kondrat Bangsa Indonesia. "Padahal seharusnya UU PNPS menjadi agenda strategi budaya pluralisme karena pluralisme merupakan kodrat bangsa," jelasnya.
Oleh karena itu, Garin menilai bahwa UU Penodaan Agama harus dicabut dan diganti dengan UU baru yang lebih sesuai kondisi dan memuat agenda kebudayaan. "Jika UU Penodaan Agama dicabut, maka negara harus menjadi fasilitator untuk mengadakan forum diskusi antaragama di Indonesia," paparnya.
Ahli MK lainnya, SAE Nababan mengungkapkan bahwa kegiatan penafsiran terhadap suatu agama merupakan kegiatan internal suatu agama yang termasuk hak asasi dalam kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan memahami yang dijamin oleh UUD 1945. "Akan tetapi, jangan kerena dijamin oleh UUD 1945, bukan berarti penafsiran tersebut harus dibatasi. Sebenarnya UU Penodaan Agama justru lebih membuka celah adanya campur tangan Pemerintah dalam kebebasan beragama," tukasnya. (Lulu Anjarsari)