Filosof Yunani, Socrates, ialah orang pertama yang dianggap melakukan penodaan agama yang kemudian dijerat hukuman melalui peraturan penodaan agama. Ia melakukan dekonstruksi terhadap dewa-dewa yang dipercayai oleh masyarakat Yunani. Dan selanjutnya sampai saat ini, hampir semua negara memiliki undang-undang tentang penodaan agama.
Demikian diungkap Jalaluddin Rahmat selaku Ahli yang didatangkan MK dalam sidang uji materi UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Penodaan dan/atau Penistaan Agama (UU Penodaan Agama), di ruang sidang pleno MK, Jumat (19/03).
"Namun, UU Penodaan Agama ini dalam prakteknya telah dan cenderung akan mendiskriminasi agama tertentu. Seringkali UU ini digunakan untuk menindas yang lemah," kata ahli agama yang familiar dipanggil Kang Jalal ini.
Oleh sebab itu, menurut Kang Jalal, UU ini harus direvisi dengan memperhatikan kekhawatiran semua kalangan baik yang menginginkan UU ini dipertahankan dan dicabut. "Saya cenderung menginginkan direvisi tanpa harus membatalkan UU ini. MK juga dapat memberikan tafsiran yang jelas agar tidak ada perbedaan lagi sehingga UU ini tidak digunakan semena-mena untuk memidanakan orang dalam menafsirkan agama," ujarnya.
Ketentuan revisi tersebut, tambah Kang Jalal, yang tak kalah penting adalah penodaan tidak bisa dikaitkan dengan penafsiran. Sedangkan revisi UU ini nantinya harus mempertimbangkan kebebasan beragama dan juga dikontekskan dengan kemajuan teknologi dan zaman yang selalu berkembang dan berubah.
Selanjutnya, Ahmad Fedyani menuturkan bahwa UU ini juga harus direvisi karena kondisi masyarakat saat ini bukanlah seperti penerapan demokrasi terpimpin Soekarno saat mengeluarkan UU Penodaan Agama.
"Pemerintah harus mengeluarkan peraturan baru mengenai hubungan antar agama maupun intern agama terkait penodaan agama dengan mempertimbangkan integrasi masyarakat," ucapnya.
Sementara itu, Ahli yang didatangkan Pemerintah yang sekaligus menjadi Ketua Muslimat Nahdlatul Ulama, Khofifah Indar Parawansa, menilai bahwa pemerintah perlu membuat regulasi dan proteksi terhadap agama baik yang bersifat intern maupun ekstern. "Kebebasan menyatakan agama dan beragama sesuai kesepakatan PBB hanya boleh dibatasi oleh Undang-Undang. Sesuai kesepakatan PBB pula setiap kebencian atas nama agama, suku, ras harus dilarang melalui Undang-Undang," tuturnya.
Oleh karena itu, lanjtu khofifah, ada negara yang melarang dibangunnya menara sebuah tempat ibadah maupun melarang perempuan memakai jilbab dan atribut agama lainnya untuk dipertontonkan di wilayah publik. Sebaliknya, UU Penodaan agama telah jelas melarang menganjurkan kebencian yang disengaja dilakukan di muka umum.
"Posisi pemerintah untuk meregulasi telah tepat karena di Indonesia pemerintah bukan sebagai penafsir tunggal. Ada pertimbangan dari menteri dan itu dilakukan tidak sendiri. Logika awal UU Penodaan ini adalah dialog dengan nasehat secara persuasif dan bukan represif," tambah mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan era Gus Dur ini.
Oleh sebab itu, apabila banyak yang pro dan konta mengenai UU ini, maka dalam logika fiqih adalah apabila terdapat sebuah peraturan yang sifatnya baik bisa diubah apabila ada yang lebih baik. "MK sangat memungkinkan memerintahkan DPR dan Pemerintah untuk merevisi UU ini dengan menambah pasal yang memasukkan peran masyarakat dalam UU ini sehingga terjadi dialog bersama baik secara intern dan ekstern," tambah ahli dari Pemerintah ini.
Khofifah dalam keterangannya menyimpulkan bahwa UU ini haruslah tetap berlaku meskipun harus direvisi. Jadi ketika direvisi tetap memiliki payung hukum sehingga apabila ada konflik maka ada aturan mainnya. Energi bangsa ini terlalu banyak terkuras hanya untuk keperluan mengurusi hal ini demi menjaga stabilitas bangsa untuk menciptakan harmoni.
Di sisi lain, Choirul Anam, selaku Kuasa Hukum Pemohon Uji Materi UU Penodaan Agama menunjukkan bukti bahwa UU ini sungguh diskriminatif. Ia lantas menunjukkan adanya surat edaran dari Departemen Dalam Negeri tertanggal 14 Maret 2006 yang secara eksplisit menunjukkan bahwa apabila terdapat aliran kepercayaan dan seseorang yang agamanya bukan seperti enam agama yang diakui sesuai UU Penodaan Agama, ketika hendak melakukan pencatatan penikahan tidak diperbolehkan sebelum memilih salah satu agama yang diakui tersebut. (RN Bayu Aji)