Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan), Kamis (18/3), di Gedung MK. Sidang perkara Nomor 144/PUU-VII/2009 ini mengagendakan mendengarkan keterangan Pihak Terkait, yakni Qomaruddin dan M. Hafis dari Ikatan Serikat Buruh Indonesia (ISBI).
Dalam keterangannya, Pihak Terkait yang diwakili Melina sebagai Kuasa Hukumnya menyatakan bahwa Pihak Terkait memiliki kedudukan hukum (legal standing) karena merasa hak konstitusionalnya terlanggar akibat berlakunya Pasal 16 ayat (1) dan (2) UU Kepailitan. Melina mengungkapkan sebagai buruh yang bekerja pada Pemohon, Pihak Terkait dilanda kecemasan dengan adanya keputusan pailit yang dijatuhkan kepada Pemohon sebagai debitur. "Pemohon kesulitan mencari order dan klien untuk meneruskan usaha dan mempertahankan sekitar 6.000 buruhnya termasuk Pihak Terkait karena Kurator mengambil alih hak-hak debitur akibat terlalu luasnya kewenangan Kurator," jelasnya.
Kecemasan Pihak Terkait, lanjur Melina, dapat terlihat dari aksi demonstrasi yang dilakukan Pihak Terkait. "Pihak Terkait takut Kurator akan mem-PHK karena Kurator memiliki kewenangan tersebut sesuai dengan Pasal 16 ayat (1) dan (2) UU Kepailitan," ujarnya.
Menanggapi hal ini, Hakim Konstitusi Harjono mempertegas kerugian konstitusional yang dialami Pihak Terkait dengan perkara yang diajukan Pemohon. "Pasal a quo hanya mengatur mengenai kewenangan Kurator, lantas sebenarnya apa kerugian yang dialami Pihak Terkait dengan berlakunya Pasal 16 ayat (1) dan (2)?" tanyanya.
M. Hafis selaku Pihak Terkait menjelaskan bahwa sebagai pihak yang bekerja dengan debitur, Pihak Terkait hanya ingin bekerjasama dengan Debitur untuk mempertahankan usahanya. "Kami hanya ingin Debitur diberikan waktu untuk melunasi utang agar dapat mempertahankan usahanya," jelasnya.
Sementara itu, dalam sidang ini, Erwin Richard Andersen sebagai Pemohon Prinsipal menegaskan kembali hak-hak konstitusionalnya yang terlanggar akibat berlakunya Pasal 16 ayat (1) dan (2) UU a quo. Erwin mengemukakan beberapa fakta hukum bahwa akibat terlalu luasnya kewenangan Kurator, di antaranya pengumuman pailit yang dibuat Kurator dan termuat dalam media massa, isinya bisa bersifat provokatif hingga pengubahan spesimen tandatangan rekening TPI secara sepihak tanpa sepengetahuan Hakim Pengawas maupun pihak manajemen TPI. "Kesewenang-wenangan Kurator tersebut menyebabkan stakeholder Pemohon bingung dan mengurangi pemasukan Pemohon," jelasnya.
Pemohon menyoal tiga norma dalam UU a quo, yakni Pasal 16 ayat (1) berbunyi "Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan Kasasi atau Peninjauan Kembali". Lalu, Pasal 16 ayat (2) yang berbunyi "Dalam hal putusan pernyataan pailit dibatalkan sebagai akibat adanya kasasi atau peninjauan kembali, segala perbuatan yang telah dilakukan oleh kurator sebelum atau pada tanggal kurator menerima pemberitahuan tentang putusan pembatalan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 17 tetap sah dan mengikat debitur".
Kemudian Pasal 69 ayat (2) yang menyatakan "Dalam melaksanakan tugasnya, kurator a) tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada Debitur atau salah satu organ debitur, meskipun dalam keadaan di luar kepailitan persetujuan atau pemberitahuan demikian dipersyaratkan; b) dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga, hanya dalam rangka meningkatkan harta pailit. (Lulu Anjarsari)