Mahasiswa Universitas Dwi Jendra Kunjungi MK
Senin, 22 Maret 2010
| 17:49 WIB
Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati saat memberikan ceramah di hadapan mahasiswa Universitas Dwi Jendra, Denpasar, Bali, yang berkunjung ke MK, Senin (22/3).
Jakarta, MKOnline - Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati mengatakan bahwa persyaratan untuk menjadi hakim konstitusi tercantum dalam Pasal 15 UU No.24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK). Berdasarkan ketentuan tersebut, hakim konstitusi harus memenuhi tiga syarat. Pertama harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela. Kedua, harus bisa bersikap adil dalam membuat putusan.
“Syarat terakhir, bahwa hakim konstitusi harus seorang negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan,” ungkap Maria saat menjawab pertanyaan salah seorang mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Dwi Jendra, Denpasar, Bali yang berkunjung ke MK pada Senin (22/3) pagi.
Dikatakan Maria lagi, untuk pencalonan hakim konstitusi diajukan oleh Mahkamah Agung, DPR dan Presiden yang masing-masing tiga orang, sehingga keseluruhannya menjadi 9 hakim konstitusi. Cara pencalonan hakim konstitusi yang ditunjuk 3 lembaga negara, kadang ada saja yang mengkritik, misalnya dikhawatirkan terjadi intervensi dari lembaga negara tersebut. Menanggapi hal tersebut, Maria mengatakan bahwa pada prinsipnya hakim MK punya independensi yang tidak mudah dipengaruhi pihak luar.
“Selama ini memang ada saja ‘markus’ (makelar kasus) yang coba mempengaruhi hakim konstitusi, misalnya Pak Mahfud yang pernah coba disuap agar memenangkan kasus tertentu. Tetapi hal itu ditolak oleh Pak Ketua MK, karena integritas dan independensinya sebagai hakim konstitusi,” tutur Maria di hadapan 250 mahasiswa.
Dalam kesempatan itu, Maria juga menerangkan masalah pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden yang harus melalui proses yudisial di Mahkamah Konstitusi (MK), diawali dengan meminta pendapat dari DPR. Dengan demikian, wewenang MK hanya sampai memutus pendapat DPR, mengenai benar atau tidaknya Presiden melakukan pengkhianatan, perbuatan tercela, dan sebagainya.
“Sedangkan yang berhak memakzulkan Presiden dan/ atau Wakil Presiden adalah MPR melalui Sidang Istimewa,” imbuh Maria. (Nano Tresna A.)