Demikian diungkapkan oleh Soedarsono selaku Ahli Pemerintah dalam sidang uji materi UU Penodaaan Agama di ruang sidang pleno MK, Rabu (17/03).
"UU Penodaan Agama telah sesuai azas dan sangat visioner, futuristik untuk penerapan kebebasan dalam beragama yang bermoral sehingga menciptakan keamanan dan ketertiban umum dalam masyarakat," tuturnya.
Dengan demikian, menurut Soedarsono, masyarakat memiliki pedoman konkrit untuk menjaga hubungan antar umat beragama dan intern agama. "Larangan penodaan merupakan titik temu dalam negara Pancasila sehingga UU Penodaan Agama tidak perlu dibatalkan," lanjutnya.
Sementara, Dr. Siti Zuhro, selaku Ahli yang dihadirkan MK, menyatakan bahwa pencapaian demokrasi yang disepakati oleh bangsa Indonesia harus pula menjamin HAM dengan ditegakkannya pengakuan martabat dan agama. "Jaminan pluralitas, pengakuan status sosial, dan kesamaan derajat harus ditegakkan. Penyelesaian konflik komunal terkait permasalahan agama harus diselesaikan dan kita carikan solusi bersama," ungkapnya.
Berkaca pada tradisi dan sejarah perpolitikan di Indonesia, menurut peneliti LIPI yang concern pada masalah demokrasi dan birokrasi ini, yang terjadi adalah politisasi di segala bidang. Politisasi inilah yang memicu konflik dan kekerasan sehingga Pancasila sebagai way of life serta nilai kebhinekaan hanya menjadi gincu (pemanis bibir, red).
"Jalan tengah adalah UU ini disesuaikan dengan kondisi kekinian, kebutuhan bersama, serta perubahan. Saya tidak merekomendasikan dicabut, namun direvisi untuk menjaga kerukunan dan toleransi sehingga terjadi harmoni dan agama bukan menjadi legitimasi untuk menegasikan yang lain," katanya.
Sementara itu, Munarman yang turut hadir mewakili Front Pembela Islam (FPI) memberikan tanggapan bahwa paradigma HAM yang dari luar Indonesia dan kemudian dimasukkan ke Indonesia juga akan menjadi intervensi baru karena perbedaan kultur. "Konflik dan kekerasan merupakan keniscayaan sehingga itu menjadi tugas hukum untuk menegakkan keadilan," tekannya.
Menanggapi hal itu, Siti Zuhro menyatakan bahwa harmoni, toleransi, dan persamaan itu merupakan variabel demokrasi. Konteks kebhinekaan Indonesia harus dikelola secara serius dan tidak asal-asalan. "Konflik memang selalu ada tapi jangan diselesaikan dengan kekerasan. Mengenai nilai HAM, maka kita harus bicara secara universal mana yang sesuai dengan negara kita mana yang tidak. Jadi ada win-win solution sehingga tercipta rasa saling percaya antara satu dan lain, demi harmonisasi masyarakat," ujarnya. (RN Bayu Aji)